REPUBLIKA.CO.ID, SIDOARJO -- Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengatakan, tindakan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), yakni kepala daerah, menteri, jaksa agung, kapolri, yang enggan memecat Aparatur Sipil Negara (ASN) terlibat kasus Tipikor, bukan saja dianggap melakukan maladministrasi kepemerintahan. Menurutnya, PPK tersebut juga bisa disebut melanggat tindak pidana.
"Karena tindakan yang seharusnya mereka lakukan, tetapi tidak dilakukan, berdampak pada kerugian negara. Karena pemerintah masih harus membayar gaji untuk seseorang yang seharusnya dia tidak menerima," kata Bima di Kantor Regional II BKN Surabaya, Jalan Letjen S. Parman nomor 6, Waru, Sidoarjo, Kamis (31/1).
(Baca: Mengapa Kepala Daerah tidak Berhentikan ASN Tipikor?)
Bima mengungkapkan, berdasarkan keterangan dari Badan Pemeriksa Keuangan, dengan tidak dipecatnya ASN yang terlibat kasus Tipikor, artinya negara masih membayar gaji mereka. Artinya, negara terus mengeluarkan uang untuk membayar sesuatu yang seharusnya tidak dibayar. Akhirnya menimbulkan kerugian negara.
"BPK juga sudah mengatakan ini masuk dalam kriteria kerugian negara. Itu terserah BPk nanti apa tindak lanjutnya, jika ini masuk dalam kategori kerugian negara," kata Bima.
Bima mengungkapkan, per 29 Januari 2019 masih ada 1879 ASN yang terjerat kasus Tipikor dan sudah berkekuatan hukum tetap (BHT), namun belum dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Data tersebut berkurang sekitar 20,28 persen dibanding September 2018, dimana sebelumnya ada 2.357 PNS Tipikor BHT yang belum diberhentikan.