REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengingatkan pemerintah daerah untuk tidak membayarkan tunjangan hari raya (THR) kepada pegawai honorer. Ini karena dasar hukumnya tidak cukup.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengungkapkan bahwa ada beberapa pemda yang meminta izin kementerian untuk memberikan THR pada honorer.
"Saya tidak berani (mengizinkan) walaupun ada daerah yang minta izin bayar honorer. Jadi, di sisi lain ada pemda yang ingin lebih dari itu pengeluarannya. Untuk honorer," ungkap Syarifuddin kepada Republika.co.id, Selasa (5/6).
Ia menjelaskan, seluruh transaksi keuangan yang terdapat dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) memiliki payung hukum. Hal ini tidak berlaku untuk pemberian THR kepada pegawai honorer daerah sehingga ia menegaskan agar pemda tidak melakukannya.
"Kami Kemendagri selaku pembina keuangan daerah perlu mengembalikan ke normanya. Ada dasar hukumnya? Kalau dasar hukum tidak cukup, ya jangan. Berkaitan dengan honorer ini belum cukup payung hukumnya untuk dilakukan pengeluaran dalam APBD," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa pegawai honorer dapat menerima THR. Namun, umumnya pegawai honorer yang dimaksudkan adalah yang bekerja di pemerintah pusat.
Apalagi di daerah banyak terdapat lembaga nonstruktural yang menggunakan pegawai honorer. Sementara itu, untuk daerah, kata Syarifuddin, tidak diwajibkan apabila kondisi fiskal tidak memungkinkan atau landasan hukumnya tidak cukup.
"Artinya boleh dianggarkan untuk non-PNS kalau dasar hukumnya cukup. Kemendagri tidak bisa serta-merta perintah bayar THR buat PNS," tuturnya.
Landasan hukum untuk pembayaran THR honorer ini penting untuk menghindari masalah hukum pada kemudian hari. Sebab, pengelolaan keuangan yang salah dapat berakibat masalah hukum seperti kasus korupsi.
"Walaupun mereka mau harus tunduk pada aturan pengelolaan keuangan. Kalau begitu mentang-mentang pemdanya sanggup, bisa bayar berapa saja. Apa artinya menyenangkan orang di kemudian hari masalah?" ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, untuk mengeluarkan anggaran harus jelas dasar hukumnya. Tujuannya agar pada kemudian hari tidak menjadi masalah hukum.
"Mengeluarkan dana harus ada dasar hukumnya. Karena ini pengeluaran cukup banyak, satu bulan gaji. Sementara, tidak semua pemda punya kapasitas yang cukup untuk itu," tutur Robert.
Dia menilai yang terpenting bagi honorer adalah pengakuan status mereka ke depannya. Dengan demikian, hak-hak mereka pun dapat terpenuhi sesuai dengan landasan hukum yang ada.