Sabtu 05 May 2018 09:00 WIB

Susu Kental Manis Jangan Diberikan untuk Anak

Kemenkes sebut minum SKM dua kali sehari sudah melebihi kebutuhan gula dalam sehari

Susu kental manis (ilustrasi)
Foto: Istimewa
Susu kental manis (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr Damayanti Syarif SpA(K) PhD mengimbau agar tidak memberikan susu kental manis untuk anak. Susu kental manis adalah produk yang fungsinya sebagai bahan makanan, memiliki kandungan gula sebanyak 50 persen.

"Serta berisiko bila dikonsumsi oleh anak,” kata Damayanti dalam laman resmi www.idai.or.id dalam rilisnya, Sabtu (5/5).

Susu kental manis adalah produk yang utamanya digunakan sebagai bahan pelengkap masakan. Sebab, produk ini tinggi kandungan gula dan hanya sedikit mengandung protein susu –zat yang dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak.

Meski, berdasarkan kategori pangan BPOM, produk kental manis masuk dalam kategori susu apabila memiliki kandungan protein minimal 7,5 persen. Maka, susu kental manis yang memiliki kandungan protein di bawah 7,5 persen otomatis disebut krimer kental manis dan tidak dapat dikatakan susu.

Damayanti mengungkapkan, sebagian besar produk kental manis yang beredar di pasar Indonesia hanya mengandung sekitar 2-3 persen protein susu. Memberikan susu kental manis yang minim gizi namun tinggi gula untuk anak sebagai pelengkap gizi dan pertumbuhan anak adalah keputusan yang keliru.

Lebih keliru lagi bila yang diberikan adalah krimer kental manis yang jelas tidak masuk dalam kategori susu. Faktanya, sebagian besar konsumen belum bisa membedakan mana susu dan mana krimer.

Meski pada label kemasan, krimer kental manis sudah tidak mencantumkan keterangan Susu, namum kenyataannya masyarakat masih beranggapan yang putih adalah susu, susu kental manis dan krimer kental manis seolah tak ada bedanya.

Jika memperhatikan rak pajangan di minimarket, susu kental manis dan produk kental manis berbagai merek pun dipajang berdampingan. Seolah mereka adalah kelompok yang sama.

Hal ini turut membentuk menyesatkan persepsi masyarakat, susu kental manis dan krimer kental manis adalah susu. Pada akhirnya, pertimbangan harga akan menentukan pilihan konsumen. Tentu saja, krimer kental manis memiliki harga lebih ekonomis dibanding susu kental manis.

Kesalahan tersebut tidak dapat sepenuhnya ditimpakan pada konsumen yang tak jeli membaca label. Gerakan bijak membaca label baru dikampanyekan dua tahun terakhir ini.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menyampaikan bahwa pada label produk kental manis harus memuat secara jelas informasi kandungan dan untuk apa produk ini seharusnya digunakan. “Itu menyesatkan konsumen karena itu akhirnya dikonsumsi konsumen itu gula bukan susu,” ujar Tulus.

Untuk itu, Tulus meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memperbaiki terminologi kental manis guna menghindari kebingungan masyarakat. Susu sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan, terutama tinggi badan dan perkembangan kognitif anak.

Kementerian Kesehatan juga menganjurkan untuk tidak memberikan susu kental manis secara rutin kepada anak. Dalam akun Twitter resminya pada 30 April 2018 lalu, Kemenkes RI mengungkapkan, SKM selama ini menjadi campuran makanan dan minuman, seperti cake, kopi, susu, biskuit dan lainnya.

Meskipun SKM menjadi campuran terlezat untuk makanan manis, tapi SKM tidak cocok untuk anak di bawah usia tiga tahun yang masih membutuhkan lemak dan protein tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan.

"Tahukah kamu jika SKM dibuat dengan cara menguapkan sebagian air dari susu segar (50%) dan ditambah dengan gula 40-50 persen," tulis akun resmi Kemenkes RI di Twitter @KemenkesRI.

Kemenkes juga mengungkapkan bila SKM mengadung Karbohidrat (KH) dan gula yang jauh lebih tinggi, serta protein yang jauh lebih rendah dari susu full cream. Padahal, kebutuhan gula anak 1-3 tahun sekitar 13-25 gram.

Jika meminum dua kali SKM dalam sehari sudah melebihi kebutuhan gula, belum lagi dari sumber makanan lain. Kemenkes menyebutkan, Permenkes Nomor 30 Tahun 2013 yang diamandeman dengan Permenkes Nomor 63 Tahun 2015 telah menetapkan batasan-batasan konsumsi gula, natrium dan lemak.

Sebaiknya, konsumsi gula 50 gram (4 sendok makan), natrium lebih dari 2.000 miligram (1 sendok teh) dan lemak 67 gram (5 sendok  makan) per orang per hari. Apabila mengonsumsi gula, natrium dan lemak lebih dari batas-batas yang diebutkan, bisa berisiko terkena hipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung.

"Nah, sebaiknya bijaklah dalam menggunakan SKM ya #Healthies! Mengurangi konsumsi gula pada makanan sehari-hari dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan menurunkan risiko penyakit tidak menular," tulis Kemenkes.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement