Selasa 21 Nov 2017 16:17 WIB

Kekuatan Militer di Konflik Papua Dinilai Terlalu Besar

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Karta Raharja Ucu
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memberikan penghargaan kepada 63 prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas Pembebasan Sandera atas keberhasilannya membebaskan 347 warga masyarakat yang disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Foto: dok. Puspen TNI
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memberikan penghargaan kepada 63 prajurit TNI yang tergabung dalam Satgas Pembebasan Sandera atas keberhasilannya membebaskan 347 warga masyarakat yang disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pemerintah perlu mengkaji ulang keterlibatan TNI dalam penanganan konflik Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Menurut dia, kekuatan militer di Papua sudah agak berlebihan.

"Harus dikaji ulang khususnya di Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, seberapa besar tantangan di Papua sehingga membutuhkan kekuatan militer," ujar Usman di LIPI Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (21/11).

 

Usman mengatakan, pemerintah harus menargetkan secara jelas sejauh mana keterlibatan militer dalam penyelesaian konflik di Papua. Harus dikaji misalnya berapa lama, targetnya bagaimana, senjatanya apa saja, anggarannya berapa, bagaimana pertanggungjawabannya kalau terjadi penyalahgunaan. "Itu yang selama ini tidak jelas," katanya.

 

Sebagai aparat penegak hukum, kata dia, polisi juga dinilai telah memiliki kewenangan yang cukup dalam menjaga keamanan masyarakat, mengontrol kejahatan, penertiban publik, termasuk menangani konflik di Papua. "Diukur dulu seberapa tidak mampu kepolisian menghadapi ancaman KKB di Papua, kalau memang dianggap tidak mampu apa alasannya. Itu harus dijelaskan, bukan berarti militer langsung dilibatkan," ucapnya.

 

Usman berkata, pemerintah dapat mencontoh cara yang pernah digunakan saat berkonflik dengan kelompok di Aceh melalui dialog. Selain melalui dialog langsung, pemerintah dapat membuka dialog melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau gerakan pembebasan Papua Barat yang mewakili segala lapisan masyarakat di Papua.

 

"Apa memang kelompok Papua merdeka ini benar-benar tidak mau berdialog? Setahu saya ada usaha untuk dialog lumayan gencar dari masyarakat di Papua," tuturnya.

 

Cara ini, lanjut Usman, diyakini lebih efektif untuk mencegah berlanjutnya tindakan kekerasan, dugaan pelanggaran HAM, hingga penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak militer di Papua. Dari hasil sejumlah penelitian, kata dia, masih menunjukkan terjadinya pelanggaran HAM di Papua akibat penyalahgunaan kekuasaan militer.

 

"Kasus-kasus yang memperlihatkan kejahatan militer itu tidak pernah dituntaskan, sehingga muncul ketidakpuasan dalam bentuk demo, nutup jalan, sampai mungkin pemberontakan bersenjata," ucap Usman mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement