Rabu 06 Apr 2016 17:42 WIB

Petinggi Polisi Sempat Minta Autopsi Siyono Dihentikan

Rep: Reja Irfa Widodo/ Red: Ilham
 Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriane.
Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, Siane Indriane.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siane Indriani mengaku ada petinggi Kepolisian yang sempat menghalangi proses autopsi jenazah Siyono, terduga teroris yang tewas di tangan Densus 88, akhir pekan lalu. Kendati begitu, proses autopsi terhadap jenazah Siyono bisa digelar dengan lancar.

"Bahkan, pada saat-saat terakhir, ada telepon untuk saya dan pak Busyro (Busyro Muqqodas) meminta untuk menghentikan autopsi," kata Siane kepada Republika.co.id, Rabu (6/4). (Komnas HAM: Kebohongan Polisi Semakin Terungkap).

Siane mengatakan, ketakutan polisi ini membuat publik semakin mencurigai kinerja lembaga tersebut. "Ini ada apa? kenapa polisi seakan takut, kami melanjutkan autopsi secara independen, apa yang ditakuti polisi? apakah ada yang ditutupi? ini kan justru membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah ada fakta yang ditutupi pihak kepolisian,'' katanya.

Terkait rencana Sidang kode etik yang akan dilakukan pihak kepolisian terhadap penangkap Siyono, Siane mempersilakan menindaklanjuti kasus tersebut. Namun, Siane meminta masyarakat bisa menilai dan memahami kasus Siyono tersebut.

''Kami serahkan kepada pihak kepolisian. Tapi yang penting buat kami, masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi. Autopsi independen ini untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, yang lebih jujur, lebih valid, tentang fakta-fakta yang terjadi pada kematian Siyono,'' kata Siane.

Siyono, Warga Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah tewas dalam proses penyelidikan Densus 88. Siyono diduga sebagai pemasok dan penyedia senjata untuk kelompok teroris. Namun, tuduhan itu belum terbukti ketika Siyono dinyatakan tewas dianiaya.

Siane melanjutkan, keterangan polisi selama ini juga tidak konsisten. Untuk itu, publik diminta dapat secara cerdas menilai dan memahami kejanggalan tersebut. "Jika dilihat secara kronologi, dulu ngomongnya tidak ada kesalahan prosedur, tapi karena Siyono meninggal karena kelelahan dan lemas. Kemudian berubah lagi, berkelahi dengan polisi, melawan petugas. Kemudian ini ada kesalahan prosedur. Ini yang justru membuat kami semakin meragukan, semakin lama kebohongan ini semakin terbuka,'' kata Siane.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement