REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politisasi guru ketika pilkada berlangsung disebut sangat mengkhawatirkan. Akibatnya, harapan pilkada menjadi momentum konstitusional bagi rakyat untuk dipimpin kepala daerah yang baik, bersih dan kompeten pun turut terancam.
Ketua koalisi guru Banten, Ginanjar mengakui politisasi guru memang barang baru. Ia mencontohkan, para guru bisa naik pangkat seperti bekerja di dinas pendidikan apabila berhasil memenangkan calon kepala daerah seperti yang dijanjikan calon petahana.
"Tapi bila tidak mendukung, para guru bisa kehilangan jabatannya," kata Ginanjar dalam diskusi 'Politisasi Guru Dalam Pilkada' di kantor ICW, Kalibata, Ahad (15/11).
Ginanjar mengungkapkan alasan mengapa para calon kepala daerah memanfaatkan para guru. Pertama, mereka berjalan di aspek yang cukup strategis, yakni pendidikan. Kedua, mereka juga mudah dipengaruhi karena sistemnya birokratis.
"Selain itu, guru juga menjadi tokoh masyarakat yang mudah mengambil hati masyarakat," ujar Ginanjar.
Menurut dia, ada delapan modus yang digunakan para calon kepala daerah untuk mempolitisasi guru. Pertama, memperbanyak pertemuan guru dengan petahana. Kedua, menjadikan acara guru sebagai ajang sosialisasi petahana.
"Yang lebih parah, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) digunakan untuk membuat spanduk sosialisasi petahana," katanya.
Keempat, briefing dan ancaman agar memilih petahana. Kelima, kapitalisasi program-program pendidikan sebagai bantuan petahana. Keenam, sosialisasi petahana kepada para pemilih pemula.
"Lalu, memobilisasi dukungan melalui kepala SKPD Pendidikan serta kandidat menjanjikan promosi jabatan kepada guru," ujarnya.
Untuk itu, Koalisi guru Banten bersama ICW dan LSM lainnya mengimbau kepada para guru dan pejabat pemerintah lainnya untuk terus waspada dan berkomitmen menjaga netralitasnya saat pilkada berlangsung.