REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pihak Dahlan Iskan menyimpulkan surat perintah penyidikan (Sprindik) Kejaksaan Tinggi DKI yang menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan gardu induk PLN di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat.
"Kami berkesimpulan pemohon benar, sprindik harus dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat, dan penetapan tersangka Dahlan Iskan itu tidak benar," kata kuasa hukum Dahlan Iskan, Pieter Talaway seusai menyerahkan kesimpulan kepada hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/8).
Dalam kesimpulan setebal 30 halaman itu, pihak Dahlan Iskan mengatakan seluruh rangkaian persidangan seperti keterangan ahli dan barang bukti yang diajukan mendukung permohonan mereka. "Telah terbukti tersangka ditetapkan terlebih dahulu baru dilakukan pemeriksaan, mencari alat bukti , dan cara ini tidak benar," kata Pieter.
Dia berharap ke depan, proses pemeriksa seperti itu, tidak digunakan lagi, dan menggunakan cara yang kronologis yaitu dimulai dengan saksi, alat bukti kemudian penetapan tersangka. Menurut dia, penetapan tersangka yang terburu-buru merupakan kesewenangan terhadap hak asasi tersangka.
Pihaknya yakin dapat memenangkan praperadilan tersebut.
"Ya.. masalah putusan itu kewenang hakim, dan hak hakim utk menilai. Pemohon harus yakin, kalau kita tidak yakin ngapain daftar praperadilan," katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan mantan Dirut PLN Dahlan Iskan tersebut sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan gardu induk PLN Jawa, Bali, Nusa Tenggara senilai Rp1,063 triliun.
Kejaksaan juga telah memeriksa mantan Dirut PLN Nur Pamuji yang menggantikan Dahlan Iskan saat ditarik menjadi Menteri BUMN pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir 2011. Sejauh ini jaksa telah menetapkan status tersangka terhadap 15 orang yang terlibat perkara tersebut, termasuk sembilan karyawan PT PLN yang sudah menjalani penahanan.
Seluruh tersangka dijerat dengan Pasal 2, 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman kurungan maksimal 20 tahun.
Megaproyek milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut digarap sejak bulan Desember 2011 dan ditargetkan selesai pada bulan Juni 2013.