REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Bupati Lampung Timur, Satono juga menjadi salah satu kepala daerah yang akan menjalani eksekusi dari putusan kasasi di Mahkamah Agung yang memutuskannya bersalah dalam kasus korupsi dan dihukum selama 15 tahun penjara. Namun Kejaksaan Agung (Kejagung) rupanya mengurangi satu kali panggilan eksekusi terhadap Satono.
Dalam informasi di situs resmi Kejaksaan Agung RI, tim eksekusi melakukan pemanggilan untuk dilaksanakan eksekusi pertama kalinya pada Senin (2/4) lalu. Dalam panggilan tersebut, Satono mangkir atau tidak memenuhi panggilan tanpa alasan.
Kemudian Kepala Pusat Penerangan Hukum, Muhammad Adi Toegarisman mengatakan akan dilakukan pemanggilan eksekusi terhadap Satono pada Kamis (5/4) lalu. Namun Adi berkeras bahwa panggilan pada Kamis (5/4) lalu merupakan panggilan eksekusi untuk pertama kalinya dan bahkan mempersalahkan Republika yang mempertanyakan hal tersebut.
"Ini pertama!! Makanya anda kalau tanya yang jelas agar info ke masyarakat jelas," kata Adi dengan nada tinggi kepada Republika, Kamis (5/4). Adi juga tidak mengatakan apakah panggilan eksekusi pada Kamis (5/4) dipenuhi Satono atau tidak.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan informasi yang diberikan di dalam situs resmi Kejaksaan Agung RI. Dalam informasi berjudul 'Jaksa Belum Eksekusi Bupati Lampung Timur' tertanggal 2 April 2012, dikatakan satono dilakukan pemanggilan eksekusi untuk pertama kalinya pada 2 April 2012. Namun tidak dapat dilakukan karena Satono tidak memenuhi pemanggilan.
"Kami masih berharap Satono kooperatif untuk datang menjalani eksekusi," kata Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Priyanto, Senin (2/4).
Selain akan melakukan eksekusi, tim jaksa eksekutor juga akan segera menyita aset Satono senilai Rp 10,5 miliar setelah eksekusi dilakukan. Saat ini jaksa masih terus menginventarisir harta kekayaan Satono. "Pasti akan disita sesuai putusan Mahkamah Agung," kata Priyanto.
Mahkamah Agung memvonis Satono dengan 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan mengembalikan kerugian negara Rp 10,5 miliar. Putusan itu berbeda dengan Pengadilan Negeri Tanjungkarang yang membebaskan Satono.
Dia diseret ke pengadilan setelah dianggap bertanggung jawab atas raibnya dana kas daerah senilai Rp 119 miliar dan menerima suap Rp 10,5 miliar dari pemilik Bank Perkreditan Rakyat Tripanca Setiadana.