REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Siti Farida, menyoroti masih maraknya korupsi kecil-kecilan atau petty corruption di berbagai sektor pelayanan publik di Jateng. Hal tersebut disampaikan dalam rangka peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia.
Farida mengatakan, petty corruption tidak boleh dianggap sepele. Meski nilainya kecil, praktik tersebut masif dan dirasakan langsung oleh masyarakat.
Dia mengungkapkan, sepanjang 2025, terdapat lima besar kategori laporan maladministrasi yang diterima Ombudsman Jateng, yakni penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, pengabaian kewajiban, dan permintaan imbalan berupa uang/barang.
"Bentuk maladministrasi berupa permintaan imbalan berupa uang/barang termasuk yang paling banyak dilaporkan," kata Farida dalam keterangannya, Rabu (10/12/2025).
Menurut Farida, praktik petty corruption berawal dari perilaku maladministrasi, seperti penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, tidak kompeten, diskriminasi, hingga permintaan imbalan. “Ketika layanan yang seharusnya mudah dan cepat justru dipersulit, sehingga menjadi potensi masyarakat untuk memberikan biaya tambahan atau gratifikasi kecil-kecilan. Hal ini memicu terjadinya petty corruption,” ucapnya.
Dalam rangka peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia 2025, Farida mendorong penyelenggara pelayanan publik di Jateng meningkatkan kualitas layanan, termasuk memperkuat transparansi serta menerapkan zero tolerance terhadap maladministrasi. Menurutnya, hal tersebut menjadi kunci dalam menekan peluang terjadinya praktik korupsi di sektor pelayanan publik.
“Jika perilaku maladministrasi dibiarkan, maka akan membuka ruang bagi tindakan korupsi. Sebaliknya, prosedur yang mudah dipahami, ketepatan waktu, kepastian biaya, dan transparansi merupakan langkah pencegahan untuk melakukan korupsi,” kata Farida.