Senin 08 Dec 2025 16:03 WIB

Anggota DPRD Minta Dinas LH DKI Bertanggung Jawab Atas Kematian Sopir Truk Sampah di Bantargebang

Berdasarkan info sopir truk sampah dipaksa hadapi antrean 8-10 jam di Bantargebang.

Petugas mengangkut sampah ke atas mobil truk untuk dibawa menuju Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi di Bank Sampah Depo Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas mengangkut sampah ke atas mobil truk untuk dibawa menuju Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi di Bank Sampah Depo Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Ali Lubis menyatakan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI harus bertanggung jawab atas meninggalnya sopir truk ketika antre membuang sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, pada Jumat (5/12/2025). Sopir berinisial W meninggal diduga akibat serangan jantung saat bertugas.

"Kematian ini bukan kecelakaan biasa, tetapi akibat sistem yang gagal total," kata Ali Lubis di Jakarta, Senin (8/12/2025).

Baca Juga

Ali menyampaikan duka cita mendalam atas wafatnya saudara Wahyudi (51), seorang sopir truk sampah Dinas LH Jakarta Selatan yang meninggal dunia diduga akibat kelelahan setelah menjalani rutinitas lembur berlebihan dan waktu kerja yang tidak manusiawi.

Menurut dia, DLH DKI harus bertanggung jawab penuh atas kematian sopir truk sampah karena DLH tidak mampu memastikan manajemen waktu kerja sesuai aturan tenaga kerja. Untuk itu, pimpinan harus bertanggung jawab.

Berdasarkan informasi dari lapangan, kata Ali, menunjukkan bahwa setiap hari para sopir truk sampah Dinas LH, termasuk almarhum Wahyudi, dipaksa menghadapi antrean 8-10 jam di TPST Bantar Gebang, bahkan bisa lebih, sebelum muatan dapat dibuang.

"Ini menciptakan total jam kerja yang melampaui batas kewajaran sebagai manusia, terutama tanpa istirahat memadai dan dengan tekanan fisik serta mental yang sangat berat," ujarnya.

Ali menilai apa yang dialami para sopir ini secara jelas bertentangan dengan ketentuan ketenagakerjaan nasional, antara lain UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja. Di mana, terdapat Pasal 77 menegaskan bahwa jam kerja maksimal adalah 7 jam per hari untuk 6 hari kerja, atau 8 jam/hari untuk 5 hari kerja.

"Lembur hanya boleh dilakukan dengan batas tertentu, harus atas persetujuan pekerja, dan wajib diberikan waktu istirahat yang cukup serta perlindungan kesehatan," katanya menambahkan.

Sebelumnya, Suku Dinas Lingkungan Hidup (LH) Jakarta Selatan menegaskan jam kerja sopir truk berinisial W yang meninggal diduga akibat kelelahan setelah mengantre terlalu lama untuk membongkar muatan di TPST Bantar Gebang pada Jumat, sudah sesuai aturan.

"Jam kerja jika mengacu pada perjanjian kerja adalah harus mencapai minimal 40 jam per minggu," kata Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Selatan Dedy Setiono saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Berdasarkan batas waktu kerja standar yang diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia, total waktu kerja tidak boleh melebihi 40 jam dalam satu minggu. Aturan ini dapat diterapkan dalam dua skema yakni tujuh jam per hari untuk enam hari kerja, atau delapan jam per hari untuk lima hari kerja.

Kendati demikian, lanjut Dedy, terkadang faktor eksternal yang sulit diprediksi seperti alam, cuaca maupun kondisi lalu lintas dapat mempengaruhi jam kerja, sehingga menjadi berlebih.

Ke depannya, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI mengenai adanya saran pengadaan tempat istirahat layak di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang bagi petugas yang membutuhkan.

"Kami setuju dengan saran tersebut," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement