REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramai pihak-pihak di Palestina memandang curiga Resolusi Dewan Keamanan PBB 2803 yang salah satunya berisi pelucutan senjata perlawanan oleh pasukan stabilisasi internasional (ISF). Ternyata ada latar belakang pahit di balik penolakan tersebut.
Sami al-Arian baru berusia 10 tahun ketika negara Zionis didirikan. Profesor lulusan Amerika Serikat yang kini berdiam di Turki itu juga lahir jauh dari kampung halaman, dari pasangan pengungsi Palestina yang terusir sampai ke Kuwait.
Namun kisah soal masa-masa perlawanan Palestina pada awal abad ke-20 yang mengalir dari ayah bunda dan kerabat-kerabatnya susah ia lupakan. Keluarganya tersebut dulu terusir dari Jaffa di dekat Tel Aviv.
“Salah satu paman saya syahid pada masa perjuangan tersebut,” kata dia saat ditemui Republika di Universitas Indonesia, Rabu (3/12/2025).
Ia menuturkan, nelangsa itu dimulai ketika Inggris menduduki Palestina berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-Bangsa yang dimulai pada akhir tahun 1917. Inggris saat itu juga mendeklarasikan dukungan terhadap berdirinya negara untuk bangsa Yahudi Eropa di Palestina.
Deklarasi itu kemudian memicu perlawanan warga Palestina setelah mereka mengetahui bahwa Inggris mengizinkan imigrasi ilegal Yahudi. Jumlah orang Yahudi di Palestina kemudian meningkat dari sekitar 30.000 pada saat awal mandat menjadi sekitar 650.000 menjelang pendirian Israel.
Perlawanan itu kemudian ditingkahi dengan kebijakan pelucutan senjata oleh Inggris dimulai pada tahun 1920 dan bertahan hingga tahun 1948.
“Kebijakan itu menuntut setiap orang Palestina yang memiliki senjata atau bahkan peluru atau amunisi dengan tuduhan yang dapat dihukum mati,” tutut Prof al-Arian. “Mereka sering mengeksekusi orang-orang Palestina hanya karena memiliki senjata api atau amunisi apa pun.”