Rabu 03 Dec 2025 17:55 WIB

Kisah Sawit di Sumatera, dari Kolonial Sampai Banjir Bandang

Luas kebun sawit saat ini berkali lipat dari masa kolonial.

Rep: Fitriyan Zamzami, Bambang Noroyono/ Red: Fitriyan Zamzami
Perkebunan sawit di Sumatera pada masa kolonial.
Foto: Public Domains
Perkebunan sawit di Sumatera pada masa kolonial.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir dahsyat yang menewaskan sedikitnya 700 orang di Sumatera belakangan memunculkan sorotan terkait masifnya perambahan hutan di wilayah itu. Luasnya perkebunan sawit di pulau paling barat di Indonesia itu juga dipertanyakan. Bagaimana ceritanya tanaman itu bisa hadir di Indonesia?

Dr Pauline Von Hellerman dari Goldsmith University dan penulis Red Gold: A Global Environmental Anthropology of Palm Oil mencatat bahwa minyak kelapa sawit sudah digunakan di daerah asal tumbuhan itu di Afrika Barat sejak 5.000 tahun lalu.

Baca Juga

Penggunaan minyak sawit itu kemudian diketahui para kolonialis Eropa yang tiba di pantai Guinea pada abad ke-15. Pada 1807, saat Inggris menghapuskan praktik perbudakan yang jadi sumber penghasilan kolonialis di Afrika Barat, produksi minyak sawit mulai jadi industri alternatif. Produksinya diekspor ke Eropa sebagai pelumas mesin-mesin Revolusi Industri.

Pada 1848, botanis Belanda mencoba menanam empat bibit kelapa sawit di Kebun Raya Buitenzorg (Bogor). Hasilnya ternyata luar biasa. Buah yang dihasilkan pohon kelapa sawit di Indonesia lebih banyak dari buah dari pohon di tanah asalnya di Afrika.

Adrien Hallet, seorang cukong dari Belgia kemudian melihat kesempatan dan mendirikan kebun sawit pertama di Pulau Raja di Sumatra pada 1911. Berbagai perusahaan perkebunan lainnya seperti Guthrie dan Barlow kemudian ikut serta. 

photo
Laki-laki Igbo di kawasan Oil Rivers di Nigeria saat ini membawa wadah labu berisi minyak sawit untuk dijual kepada pembeli Eropa, pada 1900-an. - (Jonathan Adagogo Green/British Museum)

Pada 1939, perkebunan sawit telah meluas mencapai 100 ribu hektare. Sementara 50 persen pasokan minyak sawit dunia kala itu didominasi Guthrie dan Socfin milik Adrien Hallet yang beroperasi di Indonesia dan Malaysia. 

Dibandingkan saat ini, luas lahan sawit pada masa kolonial itu tak ada apa-apanya.  Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) di Kementerian Keuangan mencatat, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektare dengan total produksi minyak sawit setiap tahunnya sebanyak 50 juta ton. 

Perkebunan sawit di Indonesia tersebar pada 26 provinsi dan lebih dari 200 kabupaten/kota di Indonesia. Di Sumatera ada 3,49 juta hektare kebun sawit di Riau; 2,01 juta hektare di Sumatera Utara; 1,4 juta hektare di Sumatera Selatan; 1,19 juta hektare di Jambi; 487,5 ribu hektare di Aceh; dan 379,6 hektare di Sumatera Barat. Ini menjadikan pulau itu yang paling luas ditanami kelapa sawit.

Peneliti Senior Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN, Sugeng Budiharta mengatakan, banjir bandang dan tanah longsor di wilayah Sumatera tak lepas dari faktor ‘brutalisme’ perkebunan kelapa sawit tersebut. Ekspansi perkebunan monokultur itu menggunduli kawasan-kawasan hutan alami dan dataran tinggi yang mengancam masyarakat sekitar dengan bencana tanah longsor dan banjir bandang alias galodo

Hidayat, warga Desa Lhok Ang, menjelaskan soal tumpukan gelondongan kayu yang hanyut bersama banjir bandang di tepi Daerah Aliran Sungai (DAS) Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, Selasa (2/12/2025).

Sugeng mengatakan, tak sulit menganalisa sebab bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) saat ini. Meskipun bukan menjadi faktor atau penyebab tunggal, namun kata Sugeng, ekspansif perkebunan kelapa sawit ke kawasan-kawasan hutan alami di dataran-dataran tinggi yang bercurah hujan tinggi menjadi salah-satu faktor penyebab. 

“Ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan juga pertambangan ilegal merupakan kondisi yang harus dievaluasi,” kata Sugeng kepada Republika, Rabu (3/12/2025).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement