REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Setiap tanggal 3 Desember, dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional. Tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengangkat tema “Fostering disability-inclusive societies for advancing social progress”.
Tema ini sebagai pengingat bahwa kemajuan sosial tidak dapat dicapai tanpa adanya jaminan hak, aksesibilitas, dan kesempatan yang setara bagi seluruh penyandang disabilitas.
Tema ini memiliki makna yang sangat dekat dengan kondisi nyata di Indonesia. Meski berbagai kebijakan dan gerakan inklusi telah dilakukan, masih banyak penyandang disabilitas yang menghadapi hambatan dalam pendidikan, pekerjaan, layanan publik, hingga lingkungan sosial yang belum sepenuhnya ramah. Realitas ini menunjukkan bahwa upaya menciptakan masyarakat inklusif masih memerlukan komitmen bersama yang lebih kuat.
Dalam rangka memperingati Hari Disabilitas Internasional, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) sekaligus Anggota Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarat Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (LPPA PPA) Dr. Debbie Affianty, M.Si membagikan pandangannya tentang pentingnya membangun budaya kampus dan masyarakat yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas.
Inklusi Bukan Kebaikan Hati, Melainkan Hak Asasi
Pendekatan terhadap disabilitas secara global telah bergeser dari paradigma belas kasihan menuju paradigma hak asasi manusia. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sejalan dengan Konvensi Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRPD) menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam pendidikan, pekerjaan, layanan publik, dan kehidupan bermasyarakat.
Namun, realita di lapangan menunjukkan kesenjangan yang mencolok antara norma hukum dan praktik sosial. Banyak penyandang disabilitas masih menghadapi infrastruktur publik yang tidak aksesibel.
Layanan pendidikan yang belum inklusif, stigma bahwa disabilitas adalah beban, hambatan dalam memperoleh pekerjaan yang layak, kekerasan berbasis hambatan fisik dan psikososial, serta kurangnya fasilitas yang memadai di sekolah, kampus, dan ruang kerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024, tercatat lebih dari 17,8 juta warga Indonesia adalah penyandang disabilitas. Sepertiga dari jumlah penyandang disabilitas tersebut belum menamatkan pendidikan dasar. Selain itu, partisipasi kerja penyandang disabilitas di tanah air hanya 23,94 persen.
Jika Indonesia ingin disebut sebagai negara yang maju, maka inklusivitas bukan lagi opsi, melainkan syarat kemajuan itu sendiri.