REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Anggota senior biro politik Hamas Hossam Badran mengingatkan bahwa setiap pasukan internasional yang dikerahkan di Jalur Gaza harus memiliki misi yang terbatas untuk memantau gencatan senjata dan mengamankan warga sipil Palestina. Hamas menyatakan tetap menolak pelucutan senjata.
Dalam sebuah wawancara dengan Aljazirah, Badran menekankan bahwa mengubah pasukan stabilisasi internasional (ISF) ini menjadi alternatif penjajah untuk melawan Palestina akan semakin memperumit situasi.
Badran mengatakan bahwa faksi-faksi Palestina, termasuk Fatah, menyampaikan posisi terpadu di Kairo mengenai pasukan internasional. Mereka menekankan bahwa posisi Palestina didasarkan pada perlindungan warga sipil dan menghentikan agresi, bukan melegitimasi kehadiran militer asing baru.
Dia menjelaskan ada tuntutan untuk menyerah dan menyerahkan senjata diajukan selama beberapa putaran perundingan. Namun permintaan tersebut mendapat penolakan tegas dari Hamas. "Para pejuang di lapangan tidak dapat menerima opsi ini."
Badran menuduh tentara Israel mencoba mengeksploitasi masalah ini untuk mendapatkan "gambar kemenangan" dua tahun setelah perang. Ia juga mengatakan bahwa Israel adalah pihak yang mulai menyerang dan menargetkan para pejuang di Rafah, dan menekankan bahwa mereka "mewakili Gaza dan martabat rakyat Palestina, tidak peduli apapun pengorbanannya."
Dia menekankan bahwa perjanjian tersebut dicapai "setelah dunia bosan dengan perilaku pendudukan, termasuk pemerintah Amerika yang mendukungnya." Pemimpin Hamas menambahkan bahwa menghentikan genosida harian di Gaza adalah tujuan utama Hamas meskipun pelanggaran gencatan senjata oleh Israel terus terjadi.
Badran menekankan bahwa kelompok perlawanan menangani situasi ini dengan “kebijaksanaan politik dan realisme,” dan bahwa konsensus nasional serta basis dukungan Arab dan Islam mendukung tindakan ini. "Kami adalah pemilik sah tanah tersebut, dan dunia harus mengarahkan kompasnya pada penjajah, bukan pada korbannya."
Hamas dan Israel mencapai perjanjian gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir, Qatar dan Turki, dan disponsori oleh Amerika Serikat. Perjanjian tahap pertama mulai berlaku pada 10 Oktober. Namun Israel terus melakukan pelanggaran atas kesepakatan itu dengan terus menyerang Gaza.
Genosida Israel di Jalur Gaza menyebabkan lebih dari 70.000 orang menjadi syuhada dan sekitar 171.000 orang Palestina terluka, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan wanita, serta kehancuran yang meluas. PBB memperkirakan biaya rekonstruksi sekitar 70 miliar dolar AS.