Kamis 27 Nov 2025 19:05 WIB

Konferensi Iklim COP30 Usai, Jauh dari Harapan Besar

Dua minggu perundingan iklim di kota Belem, Brasil, telah berakhir dengan sebuah kesepakatan yang menyerukan komitmen baru untuk menangani kenaikan suhu, namun tidak menyebutkan sama sekali soal bahan bakar fosil.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Fernando Llano/AP Photo/picture alliance
Fernando Llano/AP Photo/picture alliance

Selama dua minggu pembicaraan maraton yang diwarnai protes masyarakat adat, ketidakhadiran mencolok Amerika Serikat (AS), penghasil polusi terbesar kedua di dunia, serta kebakaran yang memaksa evakuasi massal lokasi acara, konferensi ditutup dengan sebuah kesepakatan yang dinilai banyak pihak terlalu lemah mengingat besarnya krisis iklim.

Salah satu titik perdebatan utama adalah peta jalan untuk melakukan transisi menjauh dari bahan bakar fosil, yang pembakarannya menghasilkan sebagian besar emisi yang memanaskan planet dan memperparah cuaca ekstrem.

Lebih dari 80 negara, termasuk Kolombia, Jerman, dan Kenya, menyatakan bahwa kesepakatan akhir harus mencakup rencana aksi konkret untuk menindaklanjuti komitmen sebelumnya yang susah payah dicapai untuk beralih dari batu bara, minyak, dan gas.

Namun gagasan ini, yang menghadapi penolakan keras dari Cina, kelompok negara-negara Arab termasuk negara-negara petro seperti Arab Saudi, dan lainnya, tidak masuk dalam dokumen final.

Sebagai gantinya, kesepakatan tersebut mengusulkan inisiatif sukarela untuk mempercepat pelaksanaan rencana iklim nasional dan mendorong kerja sama internasional demi menjaga target Perjanjian Paris agar pemanasan tetap di bawah 1,5 derajat Celsius.

Negara-negara juga sepakat mengadakan dialog tahunan untuk memantau kemajuan menuju target tersebut, yang saat ini diperkirakan akan segera terlampaui oleh dunia.

Dalam sesi penutupan, Presiden COP30 Andre Correa do Lago mengumumkan bahwa ia akan memimpin dua peta jalan sukarela, satu untuk melakukan transisi menjauh dari bahan bakar fosil secara adil, teratur, dan setara, dan satu lagi untuk menghentikan serta membalikkan deforestasi.

Meskipun rencana-rencana ini bukan bagian dari kesepakatan resmi PBB, semua negara diundang untuk bergabung. Ia juga mengumumkan konferensi pertama yang berfokus pada penghentian ketergantungan pada minyak, gas, dan batu bara, yang akan diadakan di Kolombia pada April.

Negosiator utama Panama, Juan Carlos Monterrey Gomez, mengatakan COP dan sistem PBB gagal melayani rakyat “dalam skala bersejarah,” dan bahwa para negosiator justru membela “industri yang menciptakan krisis ini: industri bahan bakar fosil dan kekuatan yang mendorong deforestasi global.”

Komisioner iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, mengatakan Eropa menginginkan kesepakatan yang lebih ambisius, tetapi setidaknya kesepakatan ini bergerak ke “arah yang benar” karena merupakan “langkah maju yang sangat penting” dalam pendanaan adaptasi bagi negara-negara miskin yang paling merasakan dampak iklim.

Lebih banyak dana untuk adaptasi iklim

Kesepakatan final menyerukan negara-negara kaya untuk setidaknya melipatgandakan tiga kali lipat pendanaan dari $40 miliar (Rp 668 triliun) per tahun hingga 2035 untuk membantu negara rentan beradaptasi dengan cuaca ekstrem yang semakin parah. Isu ini menjadi salah satu medan pertempuran utama COP.

“Dunia berkembang tidak bisa terus menanggung biaya adaptasi yang meningkat sendirian,” kata seorang anggota delegasi Kolombia. Untuk mendanai proyek seperti memperkuat bangunan atau memperbarui infrastruktur badai, negara berkembang di garis depan perubahan iklim akan membutuhkan sekitar $310 miliar (Rp 5.177 triliun) per tahun pada 2035, menurut laporan UNEP.

Beberapa negara berkembang marah karena adanya upaya mengaitkan aksi terhadap bahan bakar fosil dengan peningkatan pendanaan adaptasi, menuduh negara kaya termasuk Uni Eropa memeras negara miskin.

Richard Muyungi, utusan presiden Tanzania dan ketua Kelompok Negara Afrika, mengatakan bahwa benua tersebut hanya menghasilkan 4% emisi global dan tidak banyak berkontribusi pada pemanasan global.

“Seolah-olah Anda memperdagangkan hidup kami dengan sesuatu yang bukan kami penyebabnya. Mereka berkata, ‘Jika kalian tidak menerima penghapusan (bahan bakar fosil), kami tidak bisa memberikan pelipatgandaan dana adaptasi.’ Kami bilang, ‘Kami tidak bisa menerima itu,’” ujar Muyungi, yang negaranya memiliki cadangan besar bahan bakar fosil yang ingin dikembangkan dengan bantuan Arab Saudi.

Perselisihan soal perdagangan

Teks final juga mencatat bahwa langkah-langkah untuk memerangi perubahan iklim tidak boleh berujung pada hambatan perdagangan terselubung, dan mencakup pembentukan rangkaian dialog antara negara serta badan internasional seperti WTO. Hal ini membuka ruang bagi negara-negara untuk memperdebatkan perselisihan terkait kebijakan perdagangan hijau.

Jordan Dilworth, penasihat kebijakan dari lembaga E3G, menyebut dimasukkannya forum perdagangan sebagai konsesi besar dari pihak seperti Uni Eropa.

“Ini merupakan COP yang bersejarah untuk isu perdagangan, mencerminkan bagaimana proses COP menyesuaikan diri dengan lanskap geopolitik yang berubah dengan menghapus hambatan lama untuk diskusi perdagangan,” katanya.

Cina dan India telah berselisih dengan UE terkait Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Mekanisme ini, yang mulai beroperasi penuh Januari, mengenakan tarif pada impor beremisi tinggi yang membuat produk dari negara yang lambat beralih ke energi terbarukan menjadi kurang kompetitif di UE.

Namun UE mengatakan CBAM diperlukan untuk menciptakan kondisi persaingan yang adil bagi perusahaan yang beroperasi di dalam blok, yang menghadapi aturan harga karbon lebih ketat, serta untuk mencegah mereka pindah ke luar negeri.

Kemenangan awal untuk hutan dan hak masyarakat adat

Hutan, yang penting bagi stabilitas iklim dan keanekaragaman hayati, menjadi fokus besar dalam pembicaraan yang berlangsung di tepi hutan hujan terbesar di dunia, yang juga merupakan penyerap CO₂ vital.

“Tanpa hutan, kita tidak bisa mencapai tujuan Perjanjian Paris,” kata seorang juru bicara delegasi yang mendorong peta jalan penghentian deforestasi.

Kemenangan awal muncul melalui Tropical Forests Forever Facility (TFFF), yang bertujuan mengumpulkan $125 miliar (Rp 2.084 triliun) menggunakan investasi obligasi untuk memberi penghargaan kepada negara yang melestarikan hutan sekaligus membayar bunga kepada investor swasta.

Sekitar $25 miliar (Rp 417,5 triliun) berasal dari dana publik sebagai jaminan untuk menarik tambahan $100 miliar (Rp 1,67 kuadriliun) dana swasta.

Brasil, Indonesia, dan Jerman masing-masing menjanjikan €1 miliar (Rp 19,42 triliun), sementara Norwegia sekitar €3 miliar (Rp 57,7 triliun). Janji juga datang dari Portugal, Prancis, Belanda, dan negara lainnya.

Banyak pihak memuji “pendekatan inovatif” pendanaan konservasi ini. Rainforest Action Network menyambut tujuan TFFF tetapi memperingatkan bahwa dana ini “tidak akan berhasil jika bank dan investor tetap bebas mendanai deforestasi.”

Dorongan untuk memasukkan peta jalan mengakhiri deforestasi pada 2030 ke dalam kesepakatan final tidak berhasil, meski teks akhir menekankan “pentingnya melestarikan, melindungi, dan memulihkan alam dan ekosistem.”

Brasil juga mengumumkan akan menciptakan 10 wilayah adat baru setelah protes menuntut lebih banyak representasi dan hak tanah. Ini adalah langkah awal mengakui wilayah tersebut, yang kemudian harus diratifikasi melalui dekrit presiden.

Ini juga menjadi kesepakatan COP pertama yang menyebut komunitas keturunan Afrika. Pengakuan ini menyusul penandatanganan 28 dekrit oleh Presiden Brasil Lula da Silva untuk mengakui wilayah quilombo yang dikelola keturunan budak yang dibebaskan. Memberi hak tanah kepada masyarakat adat dipandang penting untuk memerangi krisis iklim, tingkat deforestasi cenderung jauh lebih rendah di wilayah yang mereka kelola.

“Jika hutan menghilang, kita semua, umat manusia, akan menghilang,” kata Israelita Bezerra Garcia, seorang pedagang di desa masyarakat adat COP, dari suku Satere Mawe.

Menjaga isu iklim tetap di agenda

Diselenggarakan satu dekade setelah Perjanjian Paris, COP30 menjadi pengingat betapa jauh dunia tertinggal dari jalur yang benar. Ilmuwan memperkirakan pemanasan bencana antara 2,6°C dan 2,8°C pada 2100 jika kebijakan tidak berubah.

Rencana aksi iklim nasional, atau NDC, yang diwajibkan PBB untuk diserahkan sebelum COP30, dikritik karena sangat jauh dari memadai untuk memenuhi target 2015.

Turki akan menjadi tuan rumah konferensi dua minggu tahun depan dan akan berbagi tanggung jawab penyelenggaraan dengan Australia setelah kedua negara mencapai kompromi dalam perselisihan panjang tentang lokasi COP31.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rahka Susanto

Editor: Yuniman Farid

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement