
Oleh: Jaharuddin, Ekonom Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lanskap ekonomi nasional yang semakin dinamis, satu hal yang tak dapat diabaikan adalah pentingnya produktivitas sebagai kunci daya saing dan kemajuan.
Produktivitas bukan sekadar ukuran efisiensi atau kuantitas output, melainkan gambaran utuh tentang bagaimana suatu sistem ekonomi mampu menciptakan nilai tambah berkelanjutan.
Dalam konteks Indonesia yang tengah menatap visi besar Indonesia Emas 2045, produktivitas menjadi prasyarat mutlak. Namun produktivitas yang kita maksud di sini bukanlah pendekatan mekanistik semata, melainkan paradigma kerja cerdas dan bernilai.
Lebih dari itu, ketika prinsip-prinsip produktivitas diterapkan dalam sistem ekonomi, keuangan, dan bisnis syariah—yang berbasis nilai dan etika—maka akan terbentuk fondasi unggul yang bukan hanya kompetitif, tetapi juga berkeadilan dan berkelanjutan.
Ekonomi syariah telah lama diposisikan sebagai alternatif sistem ekonomi yang adil dan beretika. Namun kini, ia harus naik kelas, dari moral bergerak menjadi mesin produktif nasional.
Di tengah tantangan global dan era percepatan digital, ekonomi syariah tak cukup hanya mengandalkan nilai spiritual dan instrumen keuangan.
Ia harus mampu menunjukkan, sistem ini juga unggul secara produktif—mampu bekerja lebih cerdas, solutif, menghasilkan lebih banyak nilai, dan menciptakan dampak nyata bagi kesejahteraan umat.
Di sinilah pentingnya menjadikan produktivitas sebagai inti dari strategi ekonomi syariah. Ketika lembaga keuangan syariah, pelaku usaha syariah, dan ekosistem bisnis halal mengadopsi prinsip-prinsip produktivitas secara sistemik, maka keunggulan ekonomi syariah akan menjadi bukti, bukan sekadar potensi.
Produktivitas dalam ekonomi syariah tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus didukung tiga pilar utama, sumber daya insani yang kompeten dan beretika, proses bisnis yang efisien dan bernilai tambah, serta tata kelola kelembagaan yang adaptif dan berorientasi keberlanjutan. SDI menjadi titik awal segalanya.
Tanpa manusia yang memahami esensi kerja sebagai amanah dan ibadah, produktivitas hanya akan menjadi angka tanpa makna. Maka peningkatan kapasitas dan kompetensi insan ekonomi syariah harus menjadi prioritas.
Di sinilah pentingnya membangun sistem pembelajaran, pelatihan, dan pengakuan kompetensi yang mudah diakses, relevan, dan selaras dengan kebutuhan zaman.
Namun produktivitas tak hanya lahir dari niat baik, tetapi juga dari proses terstruktur. Diperlukan kerangka kerja yang jelas, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga keberlanjutan.
Dalam tahap perencanaan, pelaku ekonomi syariah perlu memetakan tantangan spesifik yang mereka hadapi—baik dari sisi regulasi, manajemen risiko, keterbatasan teknologi, maupun kapasitas internal.
Dari sini disusun strategi peningkatan produktivitas yang berbasis data dan kondisi nyata.
Pada tahap pelaksanaan, dibutuhkan konsistensi dalam menerapkan metode dan alat peningkatan, termasuk digitalisasi proses, pelatihan rutin, dan benchmarking. Sedangkan tahap keberlanjutan menuntut evaluasi berkala, inovasi terus-menerus, dan standardisasi praktik terbaik agar produktivitas tidak menjadi proyek sesaat, melainkan budaya kerja dalam ekosistem syariah.
Keunggulan ekonomi syariah juga akan semakin tampak jika sektor usaha ultra mikro, mikro, kecil, dan menengah yang berbasis syariah mampu menerapkan prinsip produktivitas.
Saat ini, sebagian besar pelaku usaha masih berada dalam skala kecil dengan efisiensi terbatas.
Padahal, dengan intervensi produktivitas yang tepat—melalui pelatihan, akses teknologi, pendampingan manajerial, serta konektivitas pasar—pelaku usaha bisa naik kelas dan menjadi kekuatan ekonomi rakyat yang sejati.
Produktivitas di sini berarti mengubah pola usaha yang reaktif menjadi proaktif, dari sekadar bertahan menjadi siap tumbuh, dan dari pasar lokal menuju rantai pasok nasional bahkan global.
Hal serupa berlaku untuk lembaga keuangan syariah. Efisiensi operasional, pemanfaatan teknologi finansial, dan penguatan kapasitas SDI adalah aspek produktivitas yang tidak bisa ditawar.
Ketika lembaga-lembaga ini mampu menekan biaya, mempercepat layanan, dan tetap menjaga prinsip-prinsip syariah, maka tingkat kepercayaan publik akan meningkat. Kepercayaan itulah yang menjadi modal sosial penting bagi pertumbuhan industri keuangan syariah.
Di tengah persaingan yang ketat dengan lembaga keuangan konvensional, produktivitas dapat menjadi pembeda kunci. Bukan hanya dalam hal kinerja keuangan, tetapi juga dalam nilai kebermanfaatan dan kontribusi sosialnya.
Ekonomi kreatif syariah juga memiliki potensi besar jika diarahkan dengan pendekatan produktif. Industri fesyen halal, kuliner syariah, pariwisata ramah Muslim, dan konten digital Islami adalah sektor-sektor baru yang bisa menjadi tulang punggung ekonomi umat. Namun kreativitas saja tidak cukup.
Diperlukan sistem produksi yang efisien, strategi pemasaran yang terstruktur, dan ekosistem yang mendukung inovasi.
Ketika pelaku industri kreatif syariah memahami produktivitas adalah bagian dari ijtihad kontemporer—usaha sungguh-sungguh untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan bermutu—maka nilai tambah yang dihasilkan akan semakin besar, baik secara ekonomi maupun sosial.
Agar semua ini berjalan selaras, dibutuhkan panduan kompetensi nasional yang membumi dan dipahami oleh semua pihak. Panduan ini bukan sekadar instrumen administratif, tetapi alat penyelaras antara dunia pendidikan, industri, dan masyarakat.
Dengan memiliki acuan bersama tentang keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam ekonomi syariah, maka semua aktor dalam ekosistem akan berbicara dalam bahasa yang sama.
Lulusan pendidikan tahu apa yang harus dipelajari, pelaku usaha tahu kompetensi apa yang dicari, dan lembaga pelatihan tahu bagaimana menyiapkan sumber daya yang relevan. Ini akan menciptakan keselarasan yang produktif, bukan sekadar tumpang tindih niat baik.
Lebih dari itu, pendekatan produktivitas dalam ekonomi syariah harus dimaknai sebagai amal kolektif. Dalam Islam, setiap upaya memperbaiki proses, meningkatkan kualitas, dan menciptakan manfaat adalah bagian dari ibadah.
Produktivitas bukan sekadar capaian teknis, tetapi bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual. Ia menggabungkan niat, ilmu, dan tindakan dalam satu tarikan nafas perjuangan ekonomi.
Maka ekonomi syariah yang produktif bukan hanya kompeten, tetapi juga mulia. Ia tidak mengejar pertumbuhan semata, tetapi pertumbuhan yang bermakna. Tidak hanya menciptakan nilai, tetapi juga keberkahan.
Indonesia memiliki modal besar untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai kekuatan utama pembangunan nasional.
Dengan jumlah penduduk Muslim salah satu terbesar di dunia, institusi keuangan syariah yang terus berkembang, dan ekosistem halal yang semakin solid, tinggal satu hal yang perlu didorong secara sistemik, produktivitas.
Jika setiap elemen dalam ekonomi syariah—dari pelaku UMKM, lembaga keuangan, industri kreatif, hingga regulator—menjadikan produktivitas sebagai inti gerakannya, maka keunggulan ekonomi syariah bukan lagi sekadar potensi, melainkan realitas.
Produktivitas dan syariah bukanlah dua entitas yang saling meniadakan. Justru keduanya saling memperkuat. Syariah memberi arah moral dan etika, sementara produktivitas memberi daya dorong dan efektivitas.
Ketika keduanya berjalan bersama, lahirlah sistem ekonomi yang tidak hanya efisien dan kompetitif, juga adil dan membawa maslahat. Inilah saatnya ekonomi syariah melesat lebih jauh—dengan menjadikan produktivitas sebagai jantung geraknya, dan keberkahan sebagai tujuannya.