REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dinilai tak bisa dijadikan celah hukum bagi Polri dalam penempatan anggota-anggota kepolisian pada jabatan-jabatan sipil.
Polri tetap harus mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah beberapa klausul dalam UU Polri sehingga melarang anggota-anggota kepolisian menduduki jabatan-jabatan sipil.
Pendapat itu disampaikan pengamat hukum dan pemerhati kepolisian yang berpandangan putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 mengikat semua dasar hukum termasuk UU ASN.
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona mengatakan, UU ASN memang masih memberikan peluang bagi anggota kepolisian aktif untuk mengisi jabatan sipil. Akan tetapi, dalam beleid tersebut pun diterangkan tetap harus mengacu pada UU Polri.
Sementara putusan MK, kata Yance sudah mengubah UU Polri dengan memberikan penegasan tentang larangan bagi anggota kepolisian untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Karena itu, kata Yance, acuan hukumnya tetap pada putusan MK.
“Karena itu, adanya pihak-pihak yang menjadikan Undang-undang ASN sebagai celah (untuk penempatan Polri pada jabatan-jabatan sipil) itu tidak bisa dipertahankan,” kata Yance saat dihubungi dari Jakarta, Senin (17/11/2025).
Menurut Yance, putusan MK bukan cuma final dan mengikat. Tapi dalam hirarki perundangan, keputusan ini merupakan norma hukum baru yang wajib diikuti semua produk hukum lainnya, atau lex posteriori derogat legi priori.
“Bahwa norma hukum yang baru, dalam hal ini adalah putusan MK, akan mengesampingkan hukum yang lama, dalam hal ini termasuk undang-undang ASN, apabila ada pertentengan norma,” kata Yance.
Menurut Yance, pun sebetulnya putusan MK yang melarang anggota kepolisian aktif menduduki jabatan sipil merupakan tafsir konstitusional yang terang atas UU Polri. Berdasarkan UU Polri 2/2002 dibikin sebagai dasar hukum yang memisahkan fungsi dan peran kepolisian dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
View this post on Instagram