REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal mewajibkan tes kejiwaan secara berkala bagi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Kebijakan ini berlaku bagi seluruh rumah sakit pendidikan di bawah naungan Kemenkes.
Kebijakan itu merupakan buntut dari kasus perkosaan terhadap anak pasien yang dilakukan peserta PPDS Anestesiologi berinisial PAP (31 tahun) di RSUP Hasan Sadikin (RSHS). PAP merupakan peserta PPDS dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
"Kemenkes juga akan mewajibkan seluruh Rumah Sakit Pendidikan Kemenkes untuk melakukan tes kejiwaan berkala bagi peserta PPDS di seluruh angkatan," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman pada Kamis (10/4/2025).
Kemenkes meyakini tes kejiwaan berkala setidaknya dapat mencegah manipulasi hasil tes kalau hanya dilakukan sekali. Langkah tersebut sekaligus demi menemukan indikasi gangguan jiwa lebih cepat.
"Tes berkala diperlukan untuk menghindari manipulasi tes kejiwaan dan mengidentifikasi secara dini kesehatan jiwa peserta didik," ujar Aji.
Berkaca dari kasus ini, Kemenkes meminta institusi pendidikan dan kesehatan memperbaiki pola pengawasan guna mencegah hal serupa terulang. Kemenkes secara khusus bakal memelototi proses penanganan kasus yang menjerat PAP.
"(Kemenkes) mendorong seluruh institusi pendidikan serta fasilitas kesehatan untuk memperketat pengawasan, memperbaiki sistem pelaporan, serta membangun lingkungan yang bebas dari kekerasan dalam bentuk apa pun,” ucap Aji.
Sebelumnya, Unpad mengeluarkan seorang dokter yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Pria berinisial PAP itu dikeluarkan karena diduga memerkosa keluarga pasien.
PAP (31) yang menjadi tersangka kasus pemerkosaan, melakukan aksinya saat korban dalam kondisi tidak sadarkan diri. Korban disuntik cairan bius melalui selang infus.