Kamis 10 Apr 2025 10:45 WIB

Negara Apresiasi Guru Tua, Orang Hebat yang Jadi Inspirasi, dan Perjuangannya

Negara memberikan penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana kepada Guru Tua.

Warga menjual foto Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua pada peringatan Haul Guru Tua di Kompleks Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/5/2022). Pemerintah setempat mengusulkan Guru Tua yang merupakan pendiri Alkhairaat sekaligus tokoh penyebaran agama dan pendidikan Islam di Sulawesi Tengah dan Kawasan Timur Indonesia tersebut menjadi pahlawan nasional.
Foto: ANTARA/Mohamad Hamzah
Warga menjual foto Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua pada peringatan Haul Guru Tua di Kompleks Alkhairaat di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (14/5/2022). Pemerintah setempat mengusulkan Guru Tua yang merupakan pendiri Alkhairaat sekaligus tokoh penyebaran agama dan pendidikan Islam di Sulawesi Tengah dan Kawasan Timur Indonesia tersebut menjadi pahlawan nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tahun 2010 menjadi sangat berharga bagi keluarga besar Alkhairaat. Sebabnya, pada saat itu, pemerintah menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana kepada pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 53/TK/2010 yang ditandatangani presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono.

Mengapa Habib Idrus mendapatkan penghargaan?

Baca Juga

Jawaban pertanyaan ini akan lebih komprehensif bila kita menelusuri perjalanan hidupnya.

Kelahiran dan keluarga

Putra Habib Salim itu lahir dan tumbuh tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. 1891, tahun kelahirannya, adalah masa yang sulit. Hadhramaut ketika itu berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Kesultanan itu sedang berada dalam masa kemunduran menuju kehancuran. Belum lagi perang dunia pertama. Banyak negara saat itu menunjukkan kehebatan militernya, saling bertempur, membombardir, dan menghancurkan, tak peduli berapa pun nyawa yang harus dikorbankan.

Dalam adu kekuatan tadi, Turki Utsmani kalah, hingga akhirnya dibubarkan pada 1922. Wilayah kekuasaannya menjadi bancakan banyak negara Barat. Hadhramaut yang menjadi bagian dari Yaman menjadi jajahan Inggris.

Hb Idrus tumbuh di dalam masa sulit semacam itu. Masa kolonialisme yang penuh kesulitan. Sang ayah, Hb Salim merupakan seorang qadhi atau hakim kesultanan setempat. Dia menjadi rujukan kesultanan, tokoh, dan masyarakat awam dalam penyelesaian berbagai permasalahan yang ada.

Sang ayah mewarisi reputasi kakeknya, yaitu Habib Alwi bin Saqqaf Aljufri, imam dan ulama terpandang di Hadhramaut. fatwa-fatwa sang imam tertulis dalam Bughyatul Mustarsyidin karya al Allamah Hb Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur.

Meski tinggal di Hadhramaut, Hb Salim pernah mengunjungi Sulawesi. Dua daerah yang dipisahkan Samudera Hindia, Pulau Sumatera, dan Kalimantan pada 1878. Di sana dia menuju Sengkang Wajo untuk berdakwah. Kemudian menikahi seorang wanita bernama Syarifah Nur Aljufri. Dari pernikahan tersebut, lahirlah enam anak. Hb Idrus nomor empat.

Terbiasa berkelana dan mengelola sekolah

Sejak kecil, cucu Hb Alwi ini menyaksikan sang ayah yang sering memberikan petuah bijak kepada orang lain, bahkan sosok sosok berpengaruh. Kemudian mengikuti pengajian, belajar, mengaji turats, berdzikir, melaksanakan segala kewajiban muamalah ma’a Allah, dan ma’an nas.

Untuk memberi ketenangan dan konsentrasi belajar, sang ayah menyiapkan kamar khusus di Masjid Ibn Shalah. Di sana dia mempelajari berbagai cabang ilmu, di antaranya tauhid, tafsir, hadits, fiqih, tasawuf, mantiq, nahwu dan sharaf, falaq (astronomi), dan adab (sastra). Beliau belajar dari sang ayah dan para ulama besar Hadhramaut pada zamannya, di antara mereka adalah: Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih, Habib Abdullah bin Hasan bin Sholeh Al-Bahr, dan Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement