Kamis 21 Aug 2025 13:53 WIB

Peneliti Belanda: Politik Uang Sumber Masalah Korupsi dan Dominasi Oligarki di RI

Praktik politik uang menjadi tantangan serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Mas Alamil Huda
Pakar antropologi politik University of Amsterdam, Belanda, Prof Ward Berenschot, menghadiri pemutaran film dokumenter Amplop Demokrasi, di FISIP Undip, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (20/8/2025).
Foto: Kamran Dikarma/Republika
Pakar antropologi politik University of Amsterdam, Belanda, Prof Ward Berenschot, menghadiri pemutaran film dokumenter Amplop Demokrasi, di FISIP Undip, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (20/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Pakar antropologi politik University of Amsterdam, Belanda, Prof Ward Berenschot, mengatakan, praktik politik uang menjadi akar permasalahan di Indonesia, terutama korupsi. Menurutnya, praktik tersebut menjadi tantangan serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.

"Tingkat ongkos politik terlalu tinggi di Indonesia. Kampanye untuk pemilu terlalu mahal. Akibatnya, Indonesia menghadapi banyak masalah terkait korupsi, dominasi oligarkis, kerusakan lingkungan. Akar masalah itu memang ongkos politik," kata Prof Berenschot ketika diwawancara di FISIP Universitas Diponegoro, Rabu (20/8/2025).

Baca Juga

Prof Berenschot hadir di FISIP Undip untuk menghadiri pemutaran film dokumenter "Amplop Demokrasi". Materi film yang diproduksi Watchdoc Documentary itu merupakan hasil penelitian Prof Berenschot bersama 14 peneliti dari seluruh Indonesia tentang bagaimana praktik politik uang berlangsung selama Pileg dan Pilkada 2024.

Menurut Prof Berenschot, dari hasil penelitiannya, ongkos politik di Indonesia memang sangat tinggi. Akibatnya, orang yang dapat mencalonkan diri dan berkontestasi dalam pemilu hanya dari kalangan kaya. "Tapi dari ongkos politik juga muncul tekanan untuk balik modal. Jadi ada alasan untuk korupsi," ujarnya.

Dia berpendapat, praktik politik uang sudah sangat sistematis di Indonesia. Prof Berenschot telah familiar dengan istilah-istilah seperti "serangan fajar", "bohir", dan lain sebagainya. "Semua calon merasa, 'Saya harus bagi-bagi uang untuk menang (pemilu)'," ucapnya.

Terkait "serangan fajar", Prof Berenschot menilai, praktik tersebut bisa langgeng bukan semata-mata karena lemahnya edukasi dan kesadaran politik masyarakat. Sebaliknya, masyarakat melihat bahwa kandidat yang menang dalam pemilu, termasuk para pengusaha penyokongnya, bisa menggandakan kekayaannya.

"Kalau begitu, masyarakat berpikir 'Saya mau menerima sedikit manfaat juga', dan ini cukup logis," kata Prof Berenschot.

Menurutnya, relasi para calon dengan bohir untuk memperoleh modal kampanye, ekspektasi masyarakat memperoleh sesuatu sebelum hari pemilihan, serta tekanan balik modal, telah menciptakan semacam "lingkaran setan" dalam kehidupan politik di Indonesia. "Jadi itu seperti trap atau jebakan untuk demokrasi di Indonesia," ucapnya.

Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik Undip, Wijayanto, mengatakan, Undip terus berusaha untuk menjadi universitas kelas dunia. Salah satu caranya dengan rutin mengundang para pakar dan ilmuwan dari berbagai belahan dunia untuk membagikan pengetahuannya kepada civitas academica Undip.

Wijayanto menerangkan, Undip mengundang Prof Berenschot untuk membagikan hasil risetnya yang dituangkan dalam film dokumenter "Amplop Demokrasi". Film tersebut tidak hanya ditonton oleh para mahasiswa, tapi juga segenap dosen FISIP Undip.

"Saya berharap mahasiswa semakin bisa mendalami problem-problem politik dan mereka jadi peduli; bahwa masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh kepedulian mereka. Ini juga bisa menjadi kajian untuk studi mereka," kata Wijayanto ketika ditanya apa yang diharapkannya untuk para mahasiswa setelah menonton film Amplop Demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement