Selasa 12 Aug 2025 12:10 WIB

Riwayat Dwitunggal Sukarno-Hatta (Bagian I)

Masa demokrasi liberal-parlementer menandai babak baru Dwi Tunggal.

Petugas melintasi area Tugu Proklamasi, Jakarta, Ahad (9/1/2022). Di kompleks ini, berdiri gagah patung dua bapak bangsa, Sukarno dan Mohammad Hatta.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Petugas melintasi area Tugu Proklamasi, Jakarta, Ahad (9/1/2022). Di kompleks ini, berdiri gagah patung dua bapak bangsa, Sukarno dan Mohammad Hatta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sukarno dan Mohammad Hatta adalah kawan seperjuangan. Satu sama lain saling respek dan menghargai. Teks Proklamasi Kemerdekaan RI, yang dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945, bertanda tangan keduanya, atas nama bangsa Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda, keduanya memulai perjuangan dalam jalan masing-masing. Hatta berjuang di negeri Belanda sembari menuntut ilmu. Pada 1926, tokoh berdarah Minangkabau ini menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Adapun Sukarno pada 1927 mendirikan PNI bersama enam kawannya dari Algemeene Studieclub. Keduanya memperjuangkan Indonesia di dua tempat yang berbeda, tetapi bertujuan luhur yang sama: Indonesia merdeka.

Baca Juga

Segera setelah pembacaan Proklamasi RI 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta terpilih dengan suara bulat sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Keduanya—yang populer dengan sebutan Dwitunggal—memimpin negeri ini melewati masa-masa genting 1945-1949. Mereka mengisi kekurangan satu sama lain.

Sukarno bertindak selaku orator unggul dengan kemampuan hebatnya dalam menarik massa. Adapun Hatta melengkapinya dengan kemampuan manajerial dan perencanaan yang baik, layaknya seorang pemikir dan intelektual sejati.

Bila Bung Karno lekat dengan citra sebagai Muslim abangan, maka Bung Hatta menampilkan watak Muslim ortodoks.

Sayangnya, Dwitunggal yang saling melengkapi ini kemudian retak dan bahkan tak lagi bersatu. Menurut sejarawan Prof Taufik Abdullah, seperti dilansir Pusat Data Republika, hubungan Bung Karno dan Bung Hatta merenggang lantaran perbedaan prinsipil yang kian mengemuka sejak masa demokrasi liberal-parlementer.

"Dalam sistem demokrasi dan menurut UUDS 1950, sistem kita saat itu parlementer. Presiden hanya kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Nah, Sukarno sering campur-campur (urusan pemerintahan). Bung Karno mengatakan dirinya adalah panglima tertinggi," kata Taufik Abdullah.

Ambil misal ketika Mohammad Natsir memimpin kabinet. Saat itu, Irian Barat (kini Papua) masih dikuasai Belanda. Bung Karno merasa sangat terganggu. Sebab, menurut Konferensi Meja Bundar (KMB), masalah status Irian Barat semestinya diselesaikan satu tahun sesudah perjanjian pada 1949 tersebut.

"Penyerahan Irian Barat (kepada RI) ternyata diundur. Kabinet (Natsir) melaporkan kepada Bung Karno. Dan Bung Karno mencak-mencak, 'Itu harus. Kalau tidak, putus saja hubungan dengan Belanda.' Natsir kemudian mengatakan, 'Bung, dalam konstelasi kita, yang menentukan bukan presiden, melainkan kabinet.' Bung Karno kaget. Barulah setelah itu Sukarno-Natsir merenggang," papar Taufik.

Sejarawan ini menuturkan, retaknya hubungan Dwitunggal pun serupa dengan merenggangnya Bung Karno dan Natsir. Sebagai wakil presiden, Hatta kerap menegur—tidak di depan umum—Sukarno yang kerap ikut campur di kabinet-kabinet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement