Kamis 21 Aug 2025 11:14 WIB

Kayuhan Pacu Jalur 2025: Alirkan Perubahan dari Kuansing ke Dunia

Tradisi Pacu Jalur dulunya disebut sebagai peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/ Red: Erik Purnama Putra
Peserta beradu kecepatan saat Festival Pacu Jalur 2025 di Sungai Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, Rabu (20/8/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Hadly Vavaldi
Peserta beradu kecepatan saat Festival Pacu Jalur 2025 di Sungai Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, Rabu (20/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, KUANSING -- Perjalanan menuju Tepian Narosa, Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, bukan perkara mudah. Dari hotel yang disiapkan Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), rombongan awak media menempuh perjalanan darat hampir 4,5 jam menuju ke lokasi.

Jalanan berliku, hutan sawit yang seolah tiada habisnya, dan sesekali rumah-rumah kayu yang berdiri di pinggir jalan menemani sepanjang rute. Namun semua rasa penat itu terbayar saat sorak sorai ribuan warga menyambut kedatangan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming di arena flight off Pacu Jalur, Rabu (20/8/2025).

Baca Juga

Suasana di Tepian Narosa riuh rendah. Banyak warga yang mengenakan pakain tradisional. Untuk pria memakai Toluak Balango. Sedangkan perempuan mengenakan busana Takuluak Baremba.

Sungai Kuantan yang beberapa waktu lalu sempat disorot lantaran kotor kini tampak berkilau diterpa matahari. Warga yang mengenakan baju adat khas Kuansing berkumpul semarak di tepian sungai.

Anak-anak berlarian sambil membawa bendera kecil merah putih. Sementara ibu-ibu menyiapkan kudapan tradisional di warung tenda. Bagi masyarakat Kuansing, Pacu Jalur bukan sekadar lomba mendayung perahu kayu panjang, tetapi ritus kebudayaan yang mengusung semangat gotong royong dan diwariskan turun-temurun.

Semangat masyarakat masih tinggi di tengah cuaca terik Kuansing pada Rabu itu. Sembari menunggu dimulainya perlombaan, penulis mencoba berbicara dengan sejumlah warga di lokasi.

Penulis baru tahu dari cerita orang-orang desa Pasar Taluk, tradisi Pacu Jalur ternyata punya akar panjang sejak masa kolonial. Katanya dulu disebut sebagai peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina karena jatuh tepat pada 31 Agustus. Bahkan ada yang percaya, Sang Ratu Belanda pernah menyaksikan langsung pertunjukan ini sekitar tahun 1905.

Entah benar atau tidak, cerita itu tetap hidup di tengah masyarakat. "Ini malah dulu pernah ada ratu Wilhelmina nonton di sini," kata Hari Purnama, salah seorang warga dengan penuh keyakinan kepada Republika.

Namun, Hari juga bercerita, setelah Indonesia merdeka, makna perayaan pun bergeser. Orang-orang tak lagi mengingat Belanda, melainkan menjadikannya bagian dari 17 Agustus, simbol kemerdekaan. Bentuk penghormatan pada Hari Lahir Indonesia.

Di titik itu penulis merasa, tradisi ini seperti punya nyawa yang lentur. Dari kolonialisme, ia berganti wajah menjadi nasionalisme-sebuah proses yang menunjukkan bagaimana masyarakat mampu mengolah warisan lama menjadi identitas baru.

Identitas itu tercenung jelas di bendera merah putih besar terpampang sepanjang dua km di atas tenda-tenda di tepian Sungai Narosa tempat warga menonton. Membuyarkan obrolan tersebut, Wapres Gibran yang baru tiba di lokasi langsung membuka Pacu Jalur pertama dengan melambaikan bendera berwarna hijau sebanyak tiga kali.

Dua perahu pun melesat membelah sungai Batang Kuantan dan berlomba menuju garis finish. Setelah membuka hilir pertama atau ronde pertama, Gibran dan istrinya Selvi Ananda bersama rombongan menteri menyapa masyarakat melalui perahu.

Terlihat di barisan ada Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dan Menteri Olahraga Dito Ariotedjo. Momen menjadi semakin hangat ketika Gibran menyambut tangan istrinya, Selvi Ananda, saat turun dari perahu penyambutan.

Gibran sempat memastikan Selvi menapaki papan pijakan yang licin. Adegan sederhana itu kontan memicu riuh tepuk tangan warga. Beberapa bahkan merekam dan menyebarkannya di media sosial, menjadikannya potret kebersahajaan pasangan nomor dua RI ini.

Dari panggung kehormatan yang berdiri di atas sungai, Gibran menyaksikan derap kayuhan jalur-jalur andalan yang mewakili desa-desa. Sorakan "hoi…hoi…hoi" menggema bersahut-sahutan, mengiringi irama kayuhan puluhan pendayung di perahu panjang yang dihiasi ornamen daerah beserta namanya.

Inilah magnet budaya yang tak lekang waktu, namun kini juga diharapkan menjadi pintu bagi perubahan. Menpar Widiyanti menjelaskan, Pacu Jalur memiliki potensi besar sebagai atraksi wisata internasional. Pasalnya tarian yang dibawakan 'Togak Luan' atau bocah perahu dengan aura farming-nya telah dikenal luas, sampai kancah internasional.

"Kementerian Pariwisata akan terus mendukung peningkatan kualitas Pacu Jalur, baik melalui penguatan sumber daya manusia, pengembangan ekosistem event, maupun promosi ke pasar domestik dan internasional," kata Widiyanti.

Nada serupa datang dari Gibran. Dia menyinggung soal pemerintah daerah yang perlu memanfaatkan momentum aura farming. Namun, tak lupa juga untuk menjaga lingkungan agar ekosistem budaya itu juga terus berlangsung.

"Pacu Jalur ini adalah warisan kebudayaan dan juga wajah ekonomi kreatif Riau yang harus kita jaga dan rawat. Makanya hadir lengkap semua, ada Menpora, Menteri Pariwisata, Menteri Kebudayaan, juga para kepala daerah. Semua siap berkomitmen agar warisan ini bisa terus berkembang dan mengharumkan Indonesia di kancah internasional," ucap Gibran.

Pernyataan itu sejalan dengan langkah Polda Riau yang baru-baru ini menangkap pelaku penambangan emas ilegal di sepanjang aliran sungai. Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan menegaskan, penegakan hukum adalah bagian dari upaya menyelamatkan lingkungan sekaligus menjaga martabat budaya pacu jalur.

"Karena memang ini viral di internasional dan pemahaman global itu tentang lingkungan hidup sangat tinggi… melihat bahwa sepanjang sungai ini masih coklat ternyata sungai yang warnanya sudah berubah, mungkin bercampur dengan merkuri dan lain sebagainya itu berasal dari banyaknya pertambangan ilegal," kata Herry.

Dari jogetan yang viral di media sosial, khususnya Tiktok hingga diikuti oleh tokoh dan artis global itu membawa kesadaran lebih pemangku kebijakan atas pentingnya perhatian terhadap lingkungan. Hasilnya, Herry dan jajaran, menciduk 16 tersangka dan 234 dompeng atau alat untuk menambang liar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement