REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Empat mahasiswa yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas presiden atau Presidential Threshold (PT), mengaku sempat tidak optimis dengan permohonan yang diajukan. Pasalnya, ada puluhan pengajuan yang sudah diajukan ke MK sebelumnya justru ditolak.
“Jawab jujur, tidak optimis (akan dikabulkan MK),” kata salah satu pemohon, Enika Maya Oktavia di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta, Kabupaten Sleman, DIY, Jumat (3/1/2025).
Bersama dengan Enika, tiga mahasiswa UIN lainnya yang mengajukan permohonan terhadap Presidential Threshold yakni Tsalis Khoirul Fatna, Faisal Nasirul Haq, dan Rizki Maulana Syafei. Keempatnya merupakan mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara di UIN Suka Yogyakarta, dan tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) UIN Suka Yogyakarta.
Enika menuturkan, ketidakoptimisan pihaknya dalam mengajukan judicial review terhadap Presidential Threshold yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut dikarenakan beberapa hal. Salah satunya karena pihaknya merasa draft permohonan yang diajukan masih kurang.
“Ketika kami baca permohonan kami, kok jelek ya. Ketika kami masuk ke sidang pendahuluan, itu semua dikulik oleh Yang Mulia Pak Hakim Konstitusi, dan kami merasa chance (kesempatan) untuk lanjut ke persidangan pokok permohonan sepertinya sangat kecil,” ucap Enika.
Meski begitu, dari permohonan yang diajukan bisa dilanjutkan ke persidangan selanjutnya. Setidaknya, pihaknya mengikuti tujuh kali sidang hingga akhirnya sidang putusan dari permohonan yang diajukan.
“Tapi alhamdulillah, kami lanjut,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga sempat berdiskusi dengan sesama anggota komunitasnya di KPK UIN Suka. Dari diskusi yang berjalan, kata Enika, banyak yang berpendapat bahwa permohonan yang diajukan tersebut akan ditolak MK, seperti puluhan permohonan lainnya yang pernah diajukan pihak lain terkait Presidential Threshold.
“Ketika kami berdiskusi dengan teman-teman Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), sembilan orang memilih permohonan kami pasti ditolak, dan delapan orang memilih dikabulkan. Jadi kami pribadi merasa kami tidak ada chance (kesempatan),” ungkap Enika.
Ketua Prodi Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suka Yogyakarta, Gugun El Guyanie mengatakan, putusan MK dengan mengabulkan permohonan mahasiswanya tersebut merupakan putusan yang monumental. Bahkan, menurutnya putusan tersebut juga penting dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini.
“Padahal ada 35 permohonan lain itu pemohonnya dari partai politik, bahkan calon presiden ketika itu ditolak semuanya (permohonannya). Artinya, itu memberikan kabar gembira bahwa seluruh anak muda bangsa bahwa suatu saat kalau ada kebijakan, ada norma di republik ini yang bertentangan dengan konstitusi, maka jangan takut untuk mengajukan permohonan,” kata Gugun.
View this post on Instagram