Kamis 21 Aug 2025 07:48 WIB

Belajar dari Inggris dan AS, Indonesia Dinilai Perlu Bentuk Komando Siber Terpadu

Ancaman digital perlu mitigasi sistem yang terstruktur

Seminar Nasional bertajuk Evolusi Doktrin Pertahanan dan Peperangan Siber TNI di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Foto: LAB45
Seminar Nasional bertajuk Evolusi Doktrin Pertahanan dan Peperangan Siber TNI di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Utama Politik Keamanan LAB 45, Christian Guntur Lebang, menilai Indonesia mendesak untuk segera membentuk Komando Siber Terpadu guna menghadapi ancaman digital yang semakin kompleks. Ia menegaskan, langkah ini penting agar kekuatan siber nasional memiliki struktur komando yang jelas dan terintegrasi, sebagaimana yang telah diterapkan di Inggris dan Amerika Serikat.

“Di Inggris ada National Cyber Force, sementara Amerika memiliki U.S. Cyber Command. Keduanya menggabungkan kekuatan militer dan intelijen siber dalam satu komando yang terkoordinasi,” ujar Guntur dalam Seminar Nasional bertajuk Evolusi Doktrin Pertahanan dan Peperangan Siber TNI di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Menurut Guntur, Indonesia hingga kini belum memiliki struktur serupa. Satuan Siber TNI (Satsiber) masih dipimpin oleh perwira tinggi bintang satu, Brigjen TNI J.O. Sembiring. Padahal, ancaman siber sudah menjadi bagian dari dinamika pertahanan modern yang seharusnya mendapat perhatian setara dengan satuan tempur konvensional.

“Ketika Kopassus, Marinir, dan Kopasgat dinaikkan statusnya menjadi bintang tiga, Satsiber justru belum mendapat penguatan serupa. Ini menunjukkan ancaman digital belum dianggap setara dengan ancaman fisik,” ucapnya.

Ia menambahkan, tanpa jenjang karier yang jelas dan struktur organisasi yang kuat, TNI berisiko kehilangan talenta terbaik di bidang siber. “Banyak perwira muda yang memiliki minat dan kompetensi di bidang siber, tetapi tidak melihat jalur karier yang pasti. Akibatnya, mereka lebih memilih berkarier di sektor swasta,” kata Guntur.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti belum adanya regulasi nasional yang secara tegas membagi peran dan kewenangan antar lembaga siber seperti TNI, BSSN, Polri, BIN, serta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Kondisi ini dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan kebingungan dalam koordinasi.

“Harus ada regulasi yang membagi peran secara tegas. Intelijen milik siapa, pertahanan milik siapa, dan sampai sejauh mana batasnya. Kalau tidak, koordinasi akan terus menjadi masalah,” tuturnya.

Sebagai informasi, Presiden Prabowo Subianto baru saja menetapkan peningkatan status tiga satuan elite TNI menjadi bintang tiga melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 84 Tahun 2025. Ketiga satuan tersebut adalah Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Korps Marinir, dan Korps Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat), yang kini dipimpin jenderal bintang tiga dengan sebutan “Panglima”.

Namun, kebijakan tersebut belum menyentuh satuan strategis siber yang semakin vital dalam menghadapi ancaman non-konvensional. “Jika kita ingin serius membangun pertahanan digital, maka Satsiber harus diberi tempat yang setara dan strategis,” pungkas Guntur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement