REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ibunda terdakwa Helena Lim, Hoa Lien menangis histeris usai sang anak divonis lima tahun penjara. Helena dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015—2022.
“Pulang sayang, pulang. Mama mau mati saja, pulang,” teriak Hoa Lien dengan histeris kepada Helena saat keluar dari ruang persidangan usai sidang putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (30/12/2024). Hoa Lien pun terus menarik tangan Helena dan memeluknya sambil terus menangis di kursi roda.
Kuasa hukum Helena, Andi Ahmad mengatakan, kehadiran Hoa Lien di persidangan hari ini untuk memberikan dukungan moral kepada anaknya. Sang ibunda, menurutnya, hadir dengan penuh keyakinan bahwa Helena tidak bersalah dan berharap hakim memberikan keadilan dan membebaskan Helena.
“Hoa Lien datang ke pengadilan untuk memberikan dukungan moral dengan harapan besar hakim bisa memberikan keadilan, yaitu anaknya hanya pedagang valuta asing (valas) kenapa harus ditahan untuk kasus korupsi,” kata Andi usai persidangan.
Di usianya yang sudah menyentuh 79 tahun, ia mengatakan Hoa Lien berharap dapat berkumpul bersama Helena sebelum ajal menjemput. Namun, sambung dia, harapan Hoa Lien pupus karena keinginannya untuk dapat pulang bersama Helena tak bisa terwujud lantaran majelis hakim memutus Helena bersalah dalam kasus tersebut.
“Dari pertimbangan hakim, hakim tidak mengabulkan keinginannya dan doa ibundanya belum dijawab, sehingga Helena belum bisa pulang,” tutur dia.
Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim yang dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK) divonis lima tahun penjara terkait kasus korupsi timah. Helena terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum membantu melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Selain pidana penjara, Helena dikenakan pidana denda sebesar Rp 750 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan. Majelis Hakim turut menghukum Helena dengan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 900 juta subsider satu tahun penjara.
Dengan demikian, Majelis Hakim menyatakan Helena terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.
Dalam kasus korupsi tersebut, Helena sebelumnya didakwa membantu Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp 420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp 900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut. Adapun perbuatan para terdakwa dalam kasus timah, termasuk Helena, diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 300 triliun.
Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp 2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp 26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp 271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.