Senin 09 Dec 2024 18:07 WIB

Masa Depan Pemberantasan Korupsi Saat IPK Indonesia dalam Tren Penurunan

Skor IPK Indonesia versi Transparency International menurun 5 tahun terakhir.

Peserta aksi yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan aksi di kawasan Sarinah, Jalan M.H Thamrin, Jakarta, Senin (9/12/2024). Aksi tersebut merupakan bentuk kritik terhadap pemerintah dan lembaga Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) pada Hari Antikorupsi Sedunia yang dimana pada tahun 2023, Indonesia merupakan negara dengan skor Indeks Persepsi Korupsi hanya 34 atau berada diperingkat 115 dari 180 negara. ICW menilai Indonesia menghadapi ujian berat dengan tiga persoalan besar yakni pemberantasan korupsi, kualitas demokrasi dan dampak krisis iklim. Tiga persoalan besar tersebut dianggap saling berkaitan dimana dampak dari tingginya angka korupsi di Indonesia berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, pada tahun 2023, jumlah kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp56 triliun.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Peserta aksi yang tergabung dalam Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan aksi di kawasan Sarinah, Jalan M.H Thamrin, Jakarta, Senin (9/12/2024). Aksi tersebut merupakan bentuk kritik terhadap pemerintah dan lembaga Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) pada Hari Antikorupsi Sedunia yang dimana pada tahun 2023, Indonesia merupakan negara dengan skor Indeks Persepsi Korupsi hanya 34 atau berada diperingkat 115 dari 180 negara. ICW menilai Indonesia menghadapi ujian berat dengan tiga persoalan besar yakni pemberantasan korupsi, kualitas demokrasi dan dampak krisis iklim. Tiga persoalan besar tersebut dianggap saling berkaitan dimana dampak dari tingginya angka korupsi di Indonesia berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, pada tahun 2023, jumlah kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp56 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Tidak ada kabar yang bikin gembira soal pemberantasan korupsi di Indonesia selama lima tahun belakangan. Pengusutan hukum para pelaku korupsi memang terlihat masif dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum, dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), pun Polri. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, sampai pada penghakiman, dan penghukuman badan oleh pengadilan.

Baca Juga

Namun semuanya itu terbukti tak menghasilkan sistem yang membuat Indonesia benar-benar menjadi negara yang terbebas dari hama korup. Buktinya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tak bergerak positif. Skor IPK Indonesia versi Transparency International menurun, dan stagnan dari 40 ke 34 skala 100 sepanjang 2019-2024.

Skor tersebut menjerat Indonesia tetap berada di zona negara-negara yang dilabel korup di seluruh dunia di peringkat 109 dari 118. Di ASEAN, masalah pemberantasan korupsi ini, membuat Indonesia tak bisa lebih baik ketimbang Timor Leste, Vietnam, Thailand, Malaysia, apalagi Singapura. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia menurun dalam skala 5 dari skor 3,92 pada 2023 menjadi 3,85 pada 2024.

Indonesia Corruption Watch (ICW) pada awal-awal 2024 pernah merilis sejumlah faktor penyebab penurunan, dan stagnasi IPK Indonesia. Dalam catatannya ICW mengatakan, sejumlah persoalan yang menjadi sebab Indonesia tak maju-maju dalam persepsi korupsi.

Pertama, absennya pemerintahan sebelumnya dalam upaya pembenahan sistem hukum untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Alih-alih menjadi pemimpin dalam pembenahan sistem hukum di Indonesia, rezim berkuasa dalam lima tahun terakhir justeru sibuk turut campur menjadikan politik sebagai instrumen pelemahan terhadap lembaga antikorupsi seperti KPK. 

“Padahal selama ini pemerintah memiliki setumpuk tunggukan legislasi nasional yang diyakini dapat menyokong agenda-agenda pemberantasan korupsi. Seperti mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga revisi terhadap UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sesuai dengan norma-norma konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC),” demikian menurut ICW seperti dikutip Republika, Ahad (8/12/2024).

Pemimpin pemerintahan selama ini, pun menurut ICW seperti melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang belakangan mengarah pada pelemahan-pelemahan terhadap lembaga independen antikorupsi seperti KPK. Padahal mengacu pada Pasal 3 UU KPK 19/2019 menempatkan posisi presiden sebagai pemimpin, atau atasan administratif bagi KPK.

Posisi tersebut mengharuskan presiden mengambil sikap tegas atas setiap upaya-upaya dari dalam, maupun dari luar yang mengarah pada aksi-aksi pelemahan, dan pehilangan peran KPK sebagai lembaga pemimpin utama pemberantasan korupsi. “Akan tetapi hal tersebut tidak dikerjakan. Akibatnya kinerja-kinerja pemberantasan korupsi KPK kian menurun, bahkan mengalami kemerosotan tajam dalam tingkat kepercayaan di masyarakat,” kata ICW.

Hal lain yang membuat Indonesia mengalami stagnasi juga dengan melihat ‘sukses’ bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua lembaga eksekutif dan legislatif tersebut dinilai berhasil mendegradasi pemaknaan korupsi melalui produk-produk legislasi bersama yang tak mendukung penguatan pemberantasan korupsi.

Korupsi dalam sejumlah produk perundangan tak lagi ditempatkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Fakta tersebut terlihat dalam UU Pemasyarakatan 2022 yang memberikan kelonggaran untuk pemberian remisi, atau diskon masa hukuman bagi para terpidana kasus korupsi. 

Pun batas minimal pemenjaraan yang lebih ringan terhadap pelaku korupsi seperti dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana 2023. Pemberantasan korupsi Indonesia juga kian bobrok dengan melihat realitas banyak aparat-aparat, dan pejabat-pejabat di sektor penegakan hukum yang semestinya di barisan terdepan dalam perang melawan korupsi malah terlibat, bahkan menjadi pelaku utama dalam praktik korupsi.

Sepanjang 2020-2024 publik terus merekam kasus-kasus yang menyeret para jaksa, perwira-perwira kepolisian ke dalam penjara lantaran menjadi tokoh utama dalam skandal korupsi. Kasus suap-gratifikasi Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte contohnya.

Paling miris pada 2023, Ketua KPK Firli Bahuri sendiri, ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan pemerasan oleh Polda Metro Jaya terkait penanganan kasus di Kementerian Pertanian (Kementan). Di KPK sendiri terungkap berbagai pelanggaran etik berupa penerimaan-penerimaan fasilitas, dan uang dari pihak-pihak berperkara yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK 2022 Lili Pintauli Siregar.

Pun juga belasan, bahkan puluhan pegawai KPK yang diseret ke sidang etik internal lantaran terungkap melakukan pungutan liar (pungli) terhadap para tahanan KPK. Juga melihat kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan hakim-hakim pemutus perkara. Seperti korupsi yang dilakukan oleh Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA) Gazalba Saleh. 

Baru-baru ini, pun Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap pejabat tinggi di MA Zarof Ricar sebagai tersangka penerimaan suap-gratifikasi, bersama-sama tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo terkait pengaturan vonis terhadap terpidana pembunuhan Greogorius Ronald Tannur putra politikus Edward Tannur.

“Komitmen pemberantasan korupsi dari aparat-aparat penegak hukum semakin rendah,” begitu menurut ICW.

Belum lagi, menurut ICW melihat tren pemidanaan terhadap para pelaku korupsi di tingkat pengadilan, yang sepertinya tak berpihak pada efek-efek penjeraan.  ICW mencatat sepanjang 2022, rata-rata pemidanaan para terpidana korupsi hanya berkisar 3 tahun 4 bulan dari total 2.249 terdakwa dalam penanganan 2.056 perkara korupsi yang ditangani oleh Kejagung, KPK, maupun Polri, dengan total kerugian negara sebesar Rp 48,78 triliun.

Tren vonis pemidanaan kurang lebih 40 bulan terhadap koruptor tersebut tak berubah pada periode tahun berikutnya, meskipun pada kuantitas penanganan korupsi menurun pada angka 1.649 kasus dengan total 1.718 terdakwa. Namun sepanjang 2023, angka kerugian negara dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh tiga lembaga hukum Kejagung, KPK, dan Polri tersebut meningkat mencapai Rp 82,6 triliun.

“Jadi omong kosong kalau ada yang mengatakan kita ini, sudah serius dalam menindak pelaku tindak pidana korupsi. Vonis yang rata-rata 3 tahun 4 bulan sepanjang 1 Januari sampai 31 Desember 2023 ini, adalah kategori ringan, yang sama sekali tidak memberikan efek penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Dan tren vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini, menunjukkan, bahwa kita, belum benar-benar serius dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata peneliti hukum, dan korupsi ICW Kurnia Ramadhana, beberapa waktu lalu.

 

photo
Lonjakan Kasus Korupsi - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement