Selasa 01 Oct 2024 08:35 WIB

Profil Pahlawan Revolusi, Ahmad Yani

Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani turut menjadi sasaran G30S/PKI.

Ahmad Yani, salah satu pahlawan revolusi.
Foto: dok kemendikbud
Ahmad Yani, salah satu pahlawan revolusi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Purworejo (Jawa Tengah). Putra pasangan Sardjo bin Suhardjo dan Murtini ini memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS), atas bantuan Jans Hulstijn, seorang administrateur pemerintah kolonial setempat.

Setelah itu, Ahmad Yani melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Onderwijs (MULO) di Bogor (Jawa Barat). Tiga tahun kemudian, ia ke Jakarta untuk belajar di Algemene Middelbare School (AMS) jurusan ilmu pasti.

Baca Juga

Dalam masa inilah, dirinya mulai tertarik dengan dunia militer. Ahmad Yani lalu mendaftar pada pendidikan milisi Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) pada 1940. Selama enam bulan, ia menempuh pendidikan dinas milisi topografi di Magelang (Jawa Tengah).

Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Ahmad Yani menjadi bagian dari pasukan Hindia Belanda ketika balatentara Jepang mulai menduduki Tanah Air. Sempat dipenjara pada Maret 1942, ia kemudian bebas karena dinilai berstatus tentara pribumi.

Selanjutnya, Ahmad Yani kembali ke kampungnya antara lain untuk menikah. Setahun kemudian, ia memutuskan untuk masuk Heiho, kesatuan militer bentukan Jepang. Sempat berpangkat Shodancho (Komandan Kompi), ia dipindahkan ke Magelang pada 1944 dengan jabatan Komandan Seksi I Batalyon (Daidan) II.

Sesudah Proklamasi RI 17 Agustus 1945, Ahmad Yani turut dalam misi menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Pada saat Agresi Militer I terjadi, pasukannya berhasil menahan serangan Belanda di Pingit.

Pada Oktober 1945, pasukan yang dipimpin Ahmad Yani berhasil memukul mundur pasukan Inggris ke Semarang dalam Palagan Ambarawa. Kemampuannya bukan hanya di bidang militer, tetapi juga diplomasi. Ia menjadi anggota delegasi dalam konteks Perundingan Linggarjati, untuk menentukan garis demarkasi antara daerah RI dan Belanda.

Setelah penyerahan kedaulatan RI pada 1949, Ahmad Yani terus mengabdi sebagai perwira. Ia turut memberantas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Tengah. Keberhasilan menumpas DI/TII Amir Fatah membuat reputasi dirinya dan pasukan yang dipimpinnya, Raiders, kian melambung.

Mabes Angkatan Darat menugaskannya, waktu itu sebagai letnan kolonel, untuk menjalani pendidikan ke luar negeri, yakni Command and General Staff College (CSGC) di Forth Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian, pada 1956 Ahmad Yani kembali ke Tanah Air dan menjabat Asisten II Kepala Satuan Angkatan Darat (KASAD). Setahun berikutnya, ia naik pangkat menjadi kolonel.

photo
Pasukan TNI dalam operasi melawan PRRI. - (arsip nasional)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement