REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayor Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1922. Ia menempuh pendidikan di HIS dan AMS Semarang, lulus tepat saat pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.
Sutoyo bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Purworejo, kemudian dipindahkan menjadi Panitera Bupati berkat kemahirannya dalam administrasi. Pada masa Jepang, ia juga sempat menempuh pendidikan di Kenkoku Gakuin, Jakarta, sebelum akhirnya kembali bertugas di Purworejo. Jabatan terakhirnya adalah Santo Syoki, sebelum mengundurkan diri dengan hormat pada 1944.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Sutoyo bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Purworejo, yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di mana ia memilih menjadi bagian dari Polisi Tentara dengan pangkat Letnan Dua. Pada 1946, pangkatnya naik menjadi Letnan Satu dan ia ditunjuk sebagai ajudan Komandan Divisi V, Kolonel Gatot Subroto.
Selama bertugas, Sutoyo belajar dari Gatot Subroto tentang kepemimpinan yang berempati terhadap bawahan dan senantiasa hidup sederhana. Demikian dilansir dari laman Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pada 1947, dengan pangkat Kapten, Sutoyo menjadi Kepala Bagian Organisasi Polisi Tentara di Purworejo, kemudian pindah ke Yogyakarta dan Surakarta. Ia terlibat dalam penumpasan pemberontakan Komunis di Madiun pada 1948. Selama Agresi Militer Belanda II, Sutoyo ikut serta dalam perjuangan gerilya hingga Serangan Umum 1 Maret 1949. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staf Batalyon CPM di Yogyakarta.
Kariernya terus berkembang pasca-revolusi. Pada 1950, dengan pangkat Mayor, Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon 1 CPM di Jakarta. Kemudian, ia diangkat sebagai Letnan Kolonel dan menjadi atase militer di London, Inggris. Sekembalinya ke Indonesia pada 1959, Sutoyo mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, kemudian menjabat sebagai Inspektur Kehakiman dan Oditur Jenderal Angkatan Darat pada 1961. Ia juga sempat menjadi Direktur Akademi Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer.
Pada 1963, Sutoyo turut dalam Operasi Budhi, sebuah upaya pemberantasan korupsi di lingkungan militer dan pemerintahan. Operasi ini sukses menyelamatkan Rp 11 miliar untuk negara, tetapi kemudian dihentikan karena dianggap mengganggu prestise presiden Sukarno. Sutoyo terus aktif dalam Operasi Budhi hingga mendapat tuduhan tak berdasar terkait keterlibatannya dalam "Dewan Jenderal" oleh PKI.
Pada 1 Oktober 1965, Brigjen Sutoyo diculik oleh pasukan yang berseragam Cakrabirawa di bawah pimpinan Serma Surono. Mereka membawa Sutoyo ke Lubang Buaya dengan alasan dipanggil presiden Sukarno, namun ia akhirnya dibunuh oleh para penculik tersebut--yang belakangan teridentifikasi sebagai Gerakan 30 September atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Mayat Sutoyo ditemukan di sumur tua Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 3 Oktober 1965, dengan luka tembak dan kekerasan benda tumpul di tubuhnya.
Atas pengorbanannya, Sutoyo diberikan kenaikan pangkat anumerta. Pada 5 Oktober 1965, ia dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi bersama enam perwira tinggi Angkatan Darat lainnya.