Selasa 01 Oct 2024 09:31 WIB

Profil Pahlawan Revolusi, S Parman

S Parman dikenal sebagai penentang PKI pada zaman Orde Lama.

Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman
Foto: dok kemendikbud
Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918. Berasal dari keluarga yang cukup mapan, ia menempuh pendidikan di HIS Wonosobo dan kemudian melanjutkan ke MULO di Yogyakarta pada 1932.

Setelah ayahnya wafat, S Parman melanjutkan pendidikan menengah ke AMS di Yogyakarta pada 1937. Dalam masa itu, ia juga mulaimenekuni seni budaya, khususnya wayang.

Baca Juga

Mengikuti keinginan orang tuanya, S Parman melanjutkan studi kedokteran di GHS Jakarta pada 1939. Namun, studinya terhenti karena kedatangan pasukan Jepang ke Tanah Air pada 1942.

Dalam masa pendudukan Jepang, S Parman bekerja sebagai penerjemah untuk Kempetai dan belajar ilmu intelijen. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, ia aktif dalam pembentukan Badan Pengawas Undang-Undang (BPU). Dirinya juga berperan dalam merebut persenjataan serta gedung-gedung yang dikendalikan Jepang di Yogyakarta, termasuk Gedung Agung dan tangsi Butai Masse.

Seperti dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), S Parman terlibat dalam pembentukan Markas Besar Badan Keamanan Rakyat (MBBKR) di Yogyakarta. Kemudian, ia menjadi kepala staf Markas Besar Polisi Tentara.

Karier S Parman sempat terganggu oleh tuduhan keterkaitan dirinya dalam Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur, pada 1948. Sebab, kakaknya yang bernama Ir Sakirman diketahui terlibat dalam kup tersebut.

Meski demikian, tuduhan itu tidak terbukti. Sejak itu, S Parman kembali aktif dalam ketentaraan RI, termasuk ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II. Ia turut mendukung keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam merebut kembali Yogyakarta.

Setelah pengakuan kedaulatan RI, S Parman menjabat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Pada 1950, ia turut menumpas Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung dan Jakarta.

Selanjutnya, S Parman menjadi Komandan CPM dan kemudian Kepala Staf Umum III Angkatan Darat. Dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, ia termasuk yang mendukung AH Nasution.

Pada 1962, S Parman diangkat menjadi Asisten I Bidang Intelijen Angkatan Darat dengan pangkat brigadir jenderal. Dua tahun kemudian, pangkatnya naik menjadi mayor jenderal.

S Parman dikenal sebagai penentang PKI, termasuk rencana kaum komunis membentuk "Angkatan Kelima" yakni dengan mempersenjatai kelompok buruh dan tani. Karena itu, ia menjadi target dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Parman diculik oleh pasukan yang berseragam Cakrabirawa. Ia dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, di mana dirinya bersama enam perwira tinggi lainnya dibunuh.

Jenazah mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965. S Parman dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta kenaikan pangkat anumerta sesuai Keputusan Presiden tanggal 5 Oktober 1965.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement