Sabtu 10 Aug 2024 13:36 WIB

Kisah Koran dari Kota Seribu Pinang

Cenderawasih Pos terus bertahan menghadapi berbagai tantangan.

Kunjungan para jurnalis dari Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung ke kantor redaksi Cenderawasih Pos di Jayapura, Papua, Kamis (8/8/2024).
Foto:

Nurul Hidayah mengakui, dunia penerbitan media cetak di Indonesia kini menghadapi tantangan yang begitu besar. Terbukti, beberapa koran atau majalah sudah memutuskan untuk berhenti naik cetak. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang berpusat di Jakarta.

Salah satu cara untuk menjawab tantangan itu adalah menggiatkan situs berita daring. Di samping itu, perusahaan pers juga dapat mengambil langkah-langkah efisiensi. Menurut Nurul, pihaknya tidak berbicara tentang pengurangan karyawan, tetapi lebih pada penghematan pada hal-hal yang bisa dihemat.

"Misalnya, dari PC (komputer). Dulu, redaktur atau reporter biasa saja membiarkan PC menyala, bahkan sampai seharian penuh. Sekarang, kalau sudah tidak dipakai, langsung matikan. Dari (menghemat) konsumsi listrik itu kami bisa dapat lumayan," ujar dia.

Di luar soal-soal teknis, Cenderawasih Pos juga menghadapi tantangan dari konteks sosial-politik lokal. Semisal, jelang pemilihan kepala daerah, pemberitaan kadang kala dianggap suatu pihak "berat sebelah" walaupun tidak demikian adanya.

Karena itu, Nurul mengharuskan seluruh wartawan di lapangan agar lebih mengutamakan wawancara langsung, baik bertemu maupun lewat sambungan telepon, dengan narasumber. "Tidak boleh memuat rilis. Yang diperbolehkan adalah jika instansi atau seseorang menelepon kami, atau menyediakan waktu untuk wawancara, bertemu, apa pun. Demikianlah jurnalistik yang kami anut," kata dia.

Cenderawasih Pos juga menempatkan diri sebagai pihak yang tidak bisa diintimidasi oleh siapapun. "Banyak kasus orang yang tidak terima karena artikel tertentu di Cepos, tetapi kami memberikan hak jawab dan porsi penempatan artikel yang sama," ucap dia.

Sebagai media massa dengan cakupan terluas di Papua, Cenderawasih Pos juga mewajibkan awak redaksinya untuk peka budaya. Sebagai misal, penyebutan nama lengkap orang yang disertai marga di sini harus hati-hati.

"Sebab, misal ada orang Papua bermarga A. Karena ada suatu masalah, lalu kita tulis dia dengan lengkap asal marganya. Kantor kami bisa didatangi massa meskipun mereka sama sekali tidak kenal (individu orang yang ditulis). Alasannya, karena mereka semarga (dengan individu itu) dan kami dinilai menjelek-jelekkan mereka juga," tutur Nurul.

Berjuang saat pandemi ...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement