REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir enam juta anak terkena dampak kehancuran yang disebabkan oleh Topan Yagi di Asia Tenggara. Dalam pernyataan yang dirilis dari Bangkok, UNICEF menyebutkan bahwa banjir dan tanah longsor yang dipicu oleh Topan Yagi telah melanda Vietnam, Myanmar, Laos, dan Thailand, memengaruhi hampir enam juta anak serta mengancam akses mereka terhadap air bersih, pendidikan, layanan kesehatan, makanan, dan tempat tinggal.
"Anak-anak dan keluarga yang paling rentan berhadapan dengan dampak paling menghancurkan dari kerusakan yang ditinggalkan oleh Topan Yagi," kata Direktur Regional UNICEF untuk Asia Timur dan Pasifik, June Kunugi.
Topan Yagi, badai paling kuat yang menghantam Asia tahun ini, membawa hujan lebat di atas curah hujan musiman biasanya, menyebabkan sungai meluap dan memicu tanah longsor mematikan di wilayah tersebut. Setelah topan berlalu, sebanyak lebih dari 850 sekolah dan lebih dari 550 pusat kesehatan rusak, menurut sebuah laporan.
Hanya di Vietnam, topan kuat ini telah memengaruhi tiga juta anak, sementara jumlah korban jiwa meningkat menjadi 350, dengan kerugian ekonomi mencapai 1,6 miliar dolar AS (sekitar Rp 24,5 triliun), menurut pernyataan resmi. Di Myanmar, lebih dari 170 orang tewas dan lebih dari 320 ribu orang terpaksa mengungsi akibat topan kuat tersebut, sementara jaringan jalan, telekomunikasi, dan infrastruktur listrik mengalami kerusakan besar di seluruh wilayah tengah Myanmar, kata UNICEF.
Namun, menurut penyiar lokal DVB TV, sekitar 300 orang tewas di Myanmar "akibat banjir dan tanah longsor sejak sisa-sisa Topan Yagi tiba di negara itu pada 9 September". Myanmar sudah terlebih dahulu terdampak oleh konflik yang sedang berlangsung sejak Februari 2021, dengan kelompok bersenjata oposisi menyerang pasukan junta yang menguasai negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara itu, terutama di bagian utara Myanmar, termasuk negara bagian Shan dan Rakhine.
Di Thailand utara, hujan deras dan banjir telah memengaruhi hampir 64 ribu anak, sementara di Laos sekitar 60 ribu anak terdampak karena kerusakan infrastruktur akibat topan, yang mengancam mata pencaharian masyarakat yang sudah berjuang menghadapi dampak negatif perubahan iklim, kata badan PBB itu. Sejauh ini, 21 orang dilaporkan tewas dan 26 orang masih belum ditemukan di Filipina.