Rabu 07 Aug 2024 14:50 WIB

Noken, Simbol Kehidupan yang Baik dan Cinta Damai dari Papua

Sejak 2012, noken telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda versi UNESCO.

Perajin noken di Jayapura, Papua, Rabu (7/8/2024).
Foto: dok rep hasanul rizqa
Perajin noken di Jayapura, Papua, Rabu (7/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Matahari bersinar terik di Lapangan Terminal Lama, Kelurahan Entrop, Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua. Tampak bahwa tempat luas ini baru saja menjadi lokasi pasar malam. Belasan tenda masih berdiri di sana.

Tiga di antaranya merupakan tempat sejumlah mama-mama berkumpul. Tidak hanya duduk bersila dan berteduh dari teriknya sinar mentari. Mereka sedang merajut noken.

Baca Juga

Jemari mereka memegang hakpen agar benang berjejalin menjadi noken. Sebagian lagi menggunakan jarum berukuran besar. Seorang di antara mama-mama itu, Sara Pakage, bersedia berbagi cerita.

Warga dari Kabupaten Deiyai, Papua Tengah, itu menuturkan, benang yang digunakan untuk membuat noken berasal dari serat kulit kayu. Bahan tas tradisional Papua itu bisa dari beragam pohon, semisal nenduam, nawa, melinjo, atau sukun.

Selain itu, daun anggrek hutan pun dapat dipakai, terutama untuk menghadirkan warna khas pada tenunan. Inilah bahan yang paling mahal.

Noken berfungsi sebagai tas atau kantong untuk membawa pelbagai barang. Bahkan, tas tradisional Papua inidapat dipakai untuk menggendong bayi. Warga Papua umumnya tidak menjinjing noken atau menyilangnya di dada, tetapi mengaitkannya pada kepala bagian atas atau dahi.

Di daerah tempatnya berasal, yakni kawasan kaki Pegunungan Tengah Papua, suku-suku seperti Yali, Lani, Damal, dan Bauzi, memandang noken tidak sekadar tas. Menurut Sara, noken merupakan simbol kehidupan yang baik, cinta perdamaian, serta kesuburan bagi masyarakat Papua.

"Meskipun sangat kuat, noken asli dari serat kayu tidak boleh terkena minyak dan dimakan tikus sehingga bisa rusak karena jalinannya putus. Kotor itu biasa, jangan sering dicuci supaya awet," kata Sara Pakage kepada Republika di Jayapura, Rabu (7/8/2024).

Dia juga bercerita, membuat noken kini tidak melulu dari bahan serat kayu. Tidak sedikit perajin noken menggunakan jenis-jenis benang pabrikan yang didatangkan ke Papua.

"Benang manila, benang katun, dan wol. Ini benang yang sudah jadi langsung bisa pakai. Jika menggunakan serat kayu, membuat noken jadi lebih panjang karena harus dipintal secara manual, tidak bisa mengguanakan mesin," katanya.

Terkait motif, dengan perkembangan zaman dan kemudahan akses internet, para perajin semakin terbuka untuk membuat motif yang kekinian dan membuat model noken yang beragam.

Ditambahkan asesoris bunga, merajut bentuk gambar ikan, batik, atau bahkan ditambahkan manik-manik. Produk lain, mereka juga semakin terbuka untuk membuat produk yang berbeda, mulai dari yang sekecil anting, hingga rok, dan topi dari serat kayu.

Noken dengan ukuran kecil umumnya dijual seharga Rp 100 ribu. Selebihnya dijual tergantung dari ukuran dan bahan. Tentu saja, semakin besar, maka harganya akan semakin mahal. Yang dibuat dari bahan serat kayu juga lebih mahal daripada yang dari benang wol. Belum lagi jika menggunakan serat anggrek, ini akan menjadi noken termahal di kelas ukuran yang serupa.

"Moge atau rok rumbai itu kami jual Rp5 juta. Jadi sebenarnya dengan menjadi perajin noken ini membuat kami cukup sejahtera. Uang yang kami dapat bisa untuk belanja ke pasar, keperluan anak sekolah, bahkan menabung," katanya.

Hal itu dibenarkan oleh Vita Naidiban dari Papua Youth Creative Hub (PYCH) yang berkolaborasi membina UMKM setempat. Menurut dia, para perajin noken umumnya bisa mencukupi kebutuhan dasar. Mama-mama ini umumnya ibu rumah tangga yang tetap melakukan kegiatan domestik di rumah.

Meski demikian, Vita menyayangkan animo anak muda khususnya perempuan untuk membuat noken semakin sedikit. Menurut dia, fenomena itu menjadi tantangan bagi keberlanjutan sektor kerajinan noken.

"Maka itu, kami ingin menyediakan pasar supaya produk yang dibuat bisa diserap oleh konsumen. Kami juga menyiapkan pasarnya baik secara langsung ataupun dengan cara digital (daring)," ujar Vita.

Noken telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda dari Unesco pada 4 Desember 2012. Legasi tradisional Papua ini juga digolongkan dalam kategori "In Need of Urgent Safeguarding" atau warisan budaya yang membutuhkan perlindungan mendesak.

Perlindungan mendesak ini dalam arti memerlukan tindakan segera untuk menjaganya tetap hidup. Keberlangsungan elemen-elemen dalam daftar tersebut terlihat menghadapi ancaman besar dari masyarakat dan negara pihak yang bersangkutan.

photo
Para jurnalis berkunjung ke lokasi para perajin noken di Jayapura, Papua, Rabu (7/8/2024). - (dok rep hasanul rizqa)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement