REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fitriyanto
Selain ganda putra, sektor tunggal putra dikenal menjadi andalan Indonesia untuk meraih prestasi dunia cabor bulu tangkis. Di pentas Olimpiade, sejak bulu tangkis resmi dipertandingkan memperebutkan medali pada Olimpiade 1992 Barcelona sudah dua kali wakil Indonesia berdiri di podium tertinggi.
Pertama melalui Alan Budikusuma di Olimpiade 1992 Barcelona. Kemudian Taufik Hidayat ketika multi event terbesar di dunia ini berlangsung di Athena Yunani tahun 2004. Kedua tunggal putra terbaik Indonesia di masanya ini membuat Indonesia berkibar di tiang tertinggi dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya berkumandang.
Namun di perhelatan Olimpiade Paris 2024, sektor tunggal putra berada di titik nadir. Dari dua wakil yang diharapkan menyumbang medali termasuk emas, justru pencapaiannya tak sesuai dengan apa yang diharapkan seluruh masyarakat Indonesia khususnya pecinta bulu tangkis.
Diawali dengan Jonatan Christie yang dalam pertandingan penentuan grup L, Rabu sore (31/7/2024) di Porte De La Chapelle Arena Paris Prancis harus mengakui Lakshya Sen dengan skor 18-21, 12-21. Hasil ini membuat Jonatan harus angkat koper lebih cepat. Padahal Jojo lah yang menjadi tumpuan utama, pasalnya jelang Olimpiade Paris unggulan ketiga ini penampilannya paling konsisten.
Kekecewaan kian bertambah pada Rabu Malam, di mana wakil tunggal putra Indonesia lainnya, Anthony Sinisuka Ginting pun harus pulang lebih cepat. Berjuang selama 87 menit, peraih medali perunggu Olimpiade Tokyo 2021 ini menyerah tiga gim dari wakil tuan rumah Toma Junior Popov dengan skor 19-21, 21-17 dan 15-21.
Dengan hasil ini, maka untuk pertama kalinya, tidak ada satu pun wakil Indonesia di sektor tunggal putra pada babak utama Olimpiade sejak format grup diperkenalkan di Olimpiade London 2012. Sebelum 2012, format bulu tangkis menggunakan format sistem gugur.