REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR RI Puan Maharani belum bisa berkomentar banyak ihwal revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sebab, kata dia, hingga saat ini DPR belum menerima surat presiden (surpres) untuk memulai pembahasannya.
"Sampai sekarang belum ada naskah akademisnya, supresnya belum diterima, jadi belum ada. DIM-nya belum ada, jadi belum tahu isinya apa," ujar Puan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/6/2024).
Diketahui, DPR telah menetapkan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi RUU usul inisiatif lembaga tersebut. Salah satu materi muatan barunya adalah kewenangan kepolisian di bidang siber.
Dalam draf yang diterima dan sudah terkonfirmasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, pengamanan ruang siber termaktub dalam Pasal 14 Ayat 1 poin b. Pasal tersebut mengatur tugas Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Siber Polri.
"Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Polri bertugas; b. melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber," bunyi Pasal 14 Ayat 1 poin b.
Selanjutnya, pada Pasal 16 mengatur kewenangan Polri dalam menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana. Dalam Pasal 16 Ayat 1 poin q, secara khusus mengatur kewenangan kepolisian melakukan pemblokiran hingga pemutusan akses internet.
"Polri berwenang untuk: q. melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi," bunyi Pasal 16 Ayat 1 poin q.