Ahad 25 Feb 2024 13:23 WIB

Syarief Hasan: Wacana Hak Angket Pemilu 2024 Bersifat Kontraproduktif

Wakil Ketua MPR Syarief Hasan sebut wacana hak angket Pemilu bersifat kontraproduktif

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengingatkan Anies Baswedan jika ingin menang Pilpres 2024 harus memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/8/2023).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengingatkan Anies Baswedan jika ingin menang Pilpres 2024 harus memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres, di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Syarief Hasan menilai wacana penggunaan hak angket untuk merespons dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 merupakan langkah yang tidak tepat, karena bersifat kontraproduktif.

Politikus Partai Demokrat ini mengatakan wacana tersebut justru membuat hak angket menjadi bias dan bertendensi politis. Menurutnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah mengatur mekanisme jika ada pihak yang ingin mempertanyakan hasil pemilu.

Baca Juga

"DPR memang punya hak mengajukan angket. Namun menyikapi pesta demokrasi yang telah berjalan demokratis ini, semua pihak harus mengedepankan kebijaksanaan kolektif, menurunkan tensi politik, menunggu semua proses Pemilu rampung," kata Syarief dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Ahad (25/2/2024).

Saat ini, menurutnya seluruh pihak hanya perlu menunggu KPU dan Bawaslu yang tengah menyelesaikan tugasnya. Hak angket, menurutnya hanya akan menyisakan kegaduhan politik, berdampak pada segregasi sosial politik, dan kenyamanan berusaha.

Dia menjelaskan bahwa untuk sengketa proses dalam pemilu bisa diajukan ke Badan Pengawas Pemilu, sedangkan sengketa hasil pemilu bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Semua pengajuan sengketa itu, menurutnya bakal bermuara pada kepastian hukum melalui lembaga yudikatif.

Dia menilai bahwa hak angket merupakan peradilan politik untuk unjuk kekuatan yang berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa. Menurutnya hal tersebut berbahaya bagi demokrasi Indonesia dalam jangka panjang.

Untuk itu, dia mengajak semua pihak untuk berpikir lebih holistik dan integratif menyikapi pelaksanaan pemilu. Semua pihak, kata dia, telah bersepakat untuk memilih tahun 2024 ini sebagai agenda pergantian pemimpin politik, nasional maupun daerah.

Menurutnya semua proses pelaksanaannya disepakati dan diawasi bersama, termasuk dalam hal ini proses rekrutmen penyelenggara pemilu. Maka jika pelaksanaan pemilu ini dipertanyakan dan bahkan didelegitimasi oleh parlemen, menurutnya hal itu justru menyisakan banyak pertanyaan.

"Jika ada anggapan pemilu bermasalah, atau KPU dan Bawaslu tidak independen, sebaiknya gunakan saja saluran yang tersedia. Menggunakan mekanisme hukum jauh lebih baik dibandingkan unjuk kekuatan politik di DPR," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement