REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan pertemuan dengan pimpinan dan jajaran perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) untuk mengevaluasi skema pembayaran uang kuliah tunggal (UKT). Di sana, PTN-BH diingatkan mandat yang diberikan kepada mereka, yakni menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas, tapi tetap inklusif dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat.
“Menjadi PTN-Badan Hukum bukanlah swastanisasi atau komersialisasi PTN. PTN-BH 100 persen merupakan perguruan tinggi milik negara yang diberi mandat untuk menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi yang berkualitas tapi tetap inklusif, terjangkau seluruh lapisan masyarakat,” kata Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam saat membuka pertemuan tersebut, Jumat (2/2/2024).
Nizam menekankan, pemerintah tetap membiayai PTN-BH dalam bentuk bantuan penyelenggaraan PTN-BH, gaji dan tunjangan dosen, pendanaan tridharma, serta pendanaan pengembangan lainnya. Sebab itu, biaya kuliah di PTN-BH mestinya tidak menjadi mahal dan menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat. Prinsip pembiayaan gotong royong pun dia sebut harus hadir secara berkeadilan.
“Namun demikian, karena kemampuan pendanaan dari pemerintah belum dapat menutup seluruh kebutuhan biaya operasional dan pengembangan perguruan tinggi kita, maka masih memerlukan gotong-royong pendanaan dengan masyarakat. Prinsip pembiayaan gotong-royong dengan masyarakat haruslah berkeadilan,” kata dia.
Dia mengatakan, mahasiswa dari keluarga yang berkemampuan membayar UKT sesuai dengan kemampuan orang tua. Sementara mahasiswa dari keluarga yang kurang mampu dibantu dengan beasiswa. Dengan demikian, kata Nizam, akan ada subsidi silang dari keluarga yang mampu ke yang kurang mampu.
Dia mengatakan, tahun ini pemerintah menyiapkan beasiswa dalam bentuk KIP-K bagi sekitar 985.000 mahasiswa PTN maupun PTS dengan anggaran Rp 13,9 Triliun, naik Rp 2,2 Triliun dari tahun 2023. Meski KIP-K menjangkau hampir 1 juta mahasiswa, namun belum dapat menutup seluruh kebutuhan mahasiswa.
“Karena itu, kita harapkan PTN-BH dapat mengembangkan skema-skema pendanaan bagi mahasiswa yang membutuhkan bantuan,” kata Nizam.
Nizam berharap pimpinan PTN-BH mengembangkan berbagai upaya untuk menutup kebutuhan operasional perguruan tinggi serta skema untuk membantu mahasiswa yang membutuhkan. Sumber pendanaan dapat berasal dari mitra perguruan tinggi, filantropi, CSR, alumni, dana abadi, dan berbagai sumber pendanaan lainnya.
PTN-BH, menurut Nizam, dapat memanfaatkan aset yang dimilikinya untuk menjadi sumber pendapatan yang dapat membantu membiayai kualitas pendidikan. Baik berupa aset intelektual, seperti paten dan hak kekayaan intelektual (HKI) lainnya, pengembangan hasil riset dan inovasi yang diproduksi bersama industri, teaching factory, agro-industri, layanan konsultasi, maupun pemanfaatan aset berupa sarana-prasarana.
“Tak kalah pentingnya juga peningkatan efisiensi internal perguruan tinggi. Saya yakin dengan kreativitas dan jaringan yang dimiliki PTN-BH masalah kesulitan finansial mahasiswa dapat diatasi. Prinsipnya, tidak boleh sampai ada mahasiswa yang memenuhi syarat sampai tidak bisa kuliah di PTN-BH karena alasan ekonomi,” tutur Nizam.
Saat ini pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Kemendikbudristek, sedang mengkaji skema income contingent loan, yaitu pinjaman tanpa bunga yang dibayar setelah mahasiswa lulus dan berpenghasilan cukup, sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Skema itu telah berhasil diterapkan di Australia.
Pertemuan itu turut dihadiri oleh Plt Sekretaris Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek serta rektor dan jajaran pimpinan seluruh PTN-BH, yakni ITB, UI, UGM, UM, ITS, UNY, IPB, USK, UB, Unair, Unhas, UNNES, UNP, UNS, UNESA, UNDIP, UNPAD, USU, Unand, UPI, UT serta diikuti pula oleh pimpinan beberapa PTN non Badan Hukum, ULM, Unimal, Unja, Unimed, Unsam, Unsoed, UPNVY, ITK, dan UNM.