REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nizam, meminta perguruan tinggi negeri (PTN) bijak dalam penetapan tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk setiap program studi (prodi). Ia mengingatkan prinsip inklusifitas.
"Perguruan tinggi harus inklusif, harus bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Untuk itu, hati-hati dalam penetapan tarif UKT, jangan menaikkan UKT, namun buka ruang atau tambah kelompok tarif UKT," katanya dalam keterangan di Jakarta, Senin (19/2/2024).
Nizam menuturkan biaya yang ditanggung mahasiswa nantinya harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Sementara itu, Plt. Sekretaris Ditjen Diktiristek Kemendikbudristek Tjitjik Srie Tjahjandarie mengatakan penetapan UKT untuk setiap program studi pada setiap program pendidikan tinggi sendiri harus didasarkan pada Biaya Kuliah Tunggal (BKT).
Sedangkan penetapan BKT untuk setiap prodi pada program diploma dan program sarjana harus berdasarkan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Tjitjik menjelaskan SSBOPT merupakan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yakni disebutkan bahwa pemerintah perlu menetapkan SSBOPT secara periodik.
Penetapan SSBOPT oleh pemerintah harus mempertimbangkan capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. SSBOPT tersebut menjadi dasar dalam pengalokasian anggaran APBN untuk Perguruan Tinggi Negeri dan penetapan BKT untuk setiap prodi pada program diploma dan program sarjana.
Untuk tahun ini, Kemendikbudristek mengatur melalui Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemdikbudristek.
"Kami juga merilis Kepmendikbudristek Nomor 54/P/2024 tentang Besaran Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi," ujar Tjitjik.