REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Universitas Indonesia (UI) secara resmi mengeluarkan keputusan pemberian sanksi administratif kepada Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI nonaktifkan Melki Sedek Huang berupa skorsing akademik selama satu semester. Keputusan itu diambil setelah Melki dinyatakan terbukti melakukan kekerasan seksual oleh Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI.
“Untuk melaksanakan fungsinya terkait penanganan kekerasan seksual di lingkungan UI, Satgas PPKS UI mengeluarkan rekomendasi sanksi administratif yang ditetapkan dengan Keputusan Rektor,” ucap Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia kepada Republika, Rabu (31/1/2024).
Dia menyampaikan, untuk sampai pada rekomendasi tersebut merupakan suatu proses panjang yang penuh dengan kecermatan sampai dengan turunnya sanksi. Sanksi tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024 tentang Penetapan Sanksi Administratif Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Atas Nama Melki Sedek.
Dalam SK tersebut diputuskan, Melki diskors akademik selama satu semester. Dalam masa skorsing tersebut, Melki dilarang melakukan sejumlah hal. Pertama, menghubungi, melakukan pendekatan, berada dalam lokasi berdekatan, dan/atau mendatangi korban. Kedua, aktif secara formal maupun informal dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan pada tingkat program studi, fakultas, dan universitas.
“Dan (dilarang) berada di lingkungan kampus UI,” bunyi huruf c dalam poin satu putusan yang ditandatangani oleh Rektor UI Ari Kuncoro pada 29 Januari 2014 itu.
Selain itu, selama masa skorsing, Melki diwajibkan mengikuti konseling psikologis sehingga pelaku diperkenankan hadir di lingkungan kampus UI hanya pada saat harus menghadiri sesi-sesi konseling atau edukasi tentang kekerasan seksual yang dilaksanakan secara khusus dengan tatap muka langsung di kampus UI.
“Pelaku wajib menandatangani surat pernyataan bermaterai yang menyatakan telah melakukan kekerasan seksual, menerima sanksi yang diberikan, dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun,” bunyi poin keempat putusan tersebut.
Pada poin ketujuh putusan dalam SK tersebut dinyatakan, jika keputusan tersebut dianggap tidak adil, maka korban ataupun pelaku berhak untuk meminta pemeriksaan ulang. Permintaan itu harus diajukan paling lambat 14 hari kalender sejak diterimanya SK Rektor tersebut.