Ahad 29 Oct 2023 12:16 WIB

Sekjen PDIP Ungkap Ada Ketum Parpol Tertekan dan Kartu Truf-nya Dipegang Kekuasaan

PDIP mengaku ditinggalkan karena ada permintaan yang berpotensi langgar konstitusi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto di Kantor Tim Pemenangan Nasional Ganjar Presiden (TPN GP), Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Foto: Republika/ Nawir Arsyad Akbar
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto di Kantor Tim Pemenangan Nasional Ganjar Presiden (TPN GP), Jakarta, Rabu (11/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kembali menyinggung pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Pencalonan tersebut dianggap sebagai political disobedience terhadap konstitusi dan rakyat Indonesia.

"Saya sendiri menerima pengakuan dari beberapa ketua umum partai politik yang merasa kartu truf-nya dipegang. Ada yang mengatakan life time saya hanya harian, lalu ada yang mengatakan kerasnya tekanan kekuasaan," ujar Hasto lewat keterangannya, Ahad (29/10/2023).

Baca Juga

"Semoga awan gelap demokrasi ini segera berlalu, dan rakyat Indonesia sudah paham, siapa meninggalkan siapa demi ambisi kekuasaan itu," tuturnya menambahkan.

Hasto mengaku saat ini, PDIP saat ini dalam suasana yang sedih, serta berpasrah kepada Tuhan dan rakyat. Sebab, partai berlambang kepala banteng moncong putih itu sangat tidak percaya apa yang terjadi saat ini, khususnya yang berkaitan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga. Namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranatan kebaikan dan konstitusi," ujar Hasto.

Pada awalnya, PDIP hanya berdoa agar hal tersebut tidak terjadi, tetapi realistas berkata lain saat ini. Ia pun menyinggung seluruh elemen partai yang berhasil memenangkan Jokowi dan keluarganya dalam lima pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan dua pemilihan presiden (Pilpres).

"Itu wujud rasa sayang kami, pada awalnya kami memilih diam. Namun apa yang disampaikan Butet Kartaredjasa, Goenawan Muhammad, Eep Syaifullah, Hamid Awaludin, Airlangga Pribadi, dan lain-lain, beserta para ahli hukum tata negara, tokoh pro demokrasi dan gerakan civil society, akhirnya kami berani mengungkapkan perasaan kami," ujar Hasto.

Indikator Politik Indonesia merekam bahwa elektabilitas PDIP masih yang teratas pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Elektabilitas partai berlambang kepala banteng itu sebesar 25,2 persen.

Mereka kemudian merekam alasan responden memilih PDIP. Alasan pertama pemilih PDIP adalah karena terbiasa memilih partai tersebut, yakni sebesar 28,4 persen. Menariknya, alasan terbesar kedua responden memilih PDIP adalah karena sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Di PDIP menarik lagi ini PDIP, 23,9 (persen) karena suka dengan Pak Jokowi. Jadi magnet PDIP di sini mengapa pilih PDIP, Pak Jokowi ini kuat," ujar peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Hendro Prasetyo lewat rilis daringnya, Kamis (26/10/2023).

Namun, pemilih PDIP yang memilihnya karena sosok Megawati Soekarnoputri justru cenderung sangat kecil, yakni sebesar 2,2 persen. Padahal, Megawati notabenenya adalah ketua umum partai berlambang kepala banteng itu.

Karenanya, ia menilai wajar jika ada anggapan publik yang menyebut bahwa partai politik adalah kelompok pendukung sosok tertentu. Namun yang terjadi di PDIP justru menarik, ketika Megawati justru kalah pamor dari Jokowi yang notabenenya adalah kader biasa di partai.

"Jadi Pak Jokowi di sini memang asosiasinya memang masih PDIP di sini ya," ujar Hendro.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement