REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Masalah gugatan ganti rugi lahan Jatikarya di Kota Bekasi yang sudah dibangun menjadi Tol Cimanggis-Cibitung (Cimaci) tidak kunjung menemukan titik terang. Lahan seluas 4,2 hektare yang ditaksir senilai Rp 218 miliar, kini masih bergulir di Mahkamah Agung (MA).
Pihak ahli waris menggugat masalah itu sampai ke pengadilan tertinggi melawan Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang juga mengeklaim lahan itu miliknya. Alhasil, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi tidak berani mencairkan uang konsinyasi Rp 218 miliar, yang berujung warga selaku ahli waris menggelar aksi menutup Pintu Tol Jatikarya.
Kelompok pertama yang merasa sebagai ahli waris adalah Gunun HM. Mereka ini yang kerap turun aksi menggeruduk Tol Cimaci. Bahkan, kelompok Gunun HM beberapa kali mendatangi kantor BPN Kota Bekasi untuk mendesak agar uang konsinyasi segera dicairkan.
Dalam perjalanan waktu, kini muncul Nyai Dewi binti Botak dan Didi Suheri Budiman yang juga mengeklaim sebagai ahli waris lahan Jatikarya. Mereka semua merasa berhak untuk mendapatkan uang ganti rugi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kuasa ahli waris Nyai Dewi binti Botak, Yoherisman mengatakan, pihaknya sebenarnya yang paling berhak atas uang Rp 218 miliar. "Saya perwakilan kuasa ahli waris yang berhak atas konsinyasi hak atas tanah milik Ibu Nyai Dewi Binti Botak...Sudah berkekuatan hukum tetap, inkrah dengan alat bukti lengkap," kata Yoherisman kepada Republika.co.id di Kota Bekasi, belum lama ini.
Dia merasa perlu menghubungi Republika.co.id untuk meluruskan pernyataan Kepala BPN Kota Bekasi Amir Sofwan. Amir menerangkan, persoalan sengketa lahan Tol Jatikarya kini menjadi ranah Kemenhan, yang juga memiliki sertifikat lahan.
Yoherisman menilai, pernyataan Amir tidak tepat. Pasalnya, kliennya adalah orang yang memiliki lahan tersebut.
Kuasa hukum Nyai Dewi binti Botak, Alfian Kristiyono juga mengoreksi pernyataan Amir. Dia menyebut, dalam perkara tanah Jatikarya yang menjadi Tol Cimaci sudah tidak ada lagi proses litigasi. Alfian menegaskan, dalam perkara itu sudah tidak ada lagi sengketa kosinyasi dengan Kemenhan.
Pasalnya, Kementerian PUPR telah membayar uang konsinyasi kepada Kemenhan sekitar tahun 2016 yang nilainya kurang lebih Rp 18 miliar. "Jadi apa yang disampaikan kepala BPN seakan mengingkari PUPR sudah membayar ganti rugi," kata Alfian menegaskan.
Bahkan, kata Alfian, pembayaran kepada Kemenhan sudah dilakukan langsung secara tunai. Sementara pembayaran kepada ahli waris belum dilakukan. Hal itu terjadi karena BPN Kota Bekasi sampai saat belum menerbitkan surat pengantar ke Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi.
Padahal, surat rekomendasi itu diperlukan sebagai syarat mutlak pencairan uang sebesar Rp 218 miliar, untuk selanjutnya diberikan kepada Nyai Dewi binti Botak. Alfian memastikan ahli waris sudah menyelesaikan semua persyaratan pencairan uang konsinyasi. Di antaranya, kesepakatan penyelesaian atau musyawarah dari para termohon, dan salah satu pihak sudah memenangkan perkara dan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Kemudian, surat pengantar dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) Kota Bekasi, yaitu Kepala Kantor BPN/ATR Kota Bekasi, dalam hal ini Amir Sofwan juga sudah ada. "Jika semua syarat sudah dipenuhi, lalu apa yang menjadi dasar BPN tidak mengeluarkan surat pengantar pencarian uang kosinyasi untuk ahli waris?" kata Alfian menggugat.
Kepala BPN Kota Bekasi Amir Sofyan enggan mengomentari masalah itu. Republika.co.id dipersilakan menanyakan hal itu kepada Mabes TNI. Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono ketika dihubungi malah memberikan tautan berita berjudul 'Mangkir dari Panggilan, Saksi Gunun Diamankan Tim Pusintelad di Daerah Jatirangga'.
Gunun merupakan perwakilan ahli waris yang selalu aksi menduduki Tol Cimaci. Meski begitu, Julius enggan mengatakan, Gunun ditangkap oleh Tim Pusintelad. "Tidak ditahan, dia di rumahnya," katanya.
Julius pun menyarankan agar Republika.co.id langsung menghubungi Satgas Tim Hukum Mabes TNI Kolonel Chk Agus Hari Suyanto. Menurut dia, Agus lebih memahami secara utuh persoalan ini.
"Coba ke pakar hukumnya. Pak Agus lebih paham mafia tanah di situ. Saya yakin tim hukum Mabes TNI sangat cermat dalam menuntaskan kasus Tanah Jatikarya," kata Julius.
Brigjen Agus ketika dihubungi meminta Republika.co.id mempelajari semua dokumen lahan Jatikarya. Tujuannya agar tidak ditipu oleh oknum yang mengaku sebagai ahli waris lahan yang kini sudah menjadi tol tersebut.
"Jangan sampai wartawan diombang ambingkan oleh oknum yang tidak jelas. Kenapa yang mengaku-ngaku ahli waris nya Dewi tidak berani ketemu saya?" ujar Agus.
Dia menjelaskan, Mabes TNI sementara ini hanya dalam posisi mengundang pihak yang mengaku-ngaku sebagai ahli waris Tol Jatikarya. Dengan konfrontasi langsung, pihaknya ingin agar duduk masalah itu bisa jelas dan tuntas. "Karena target saya atas seizin tim akan mengundang orang yang mengaku ahli waris," kata Agus.
Sosok Didi Suhaeri Budiman...