Selasa 29 Aug 2023 17:37 WIB

Pakar Hukum Nilai Batas Usia Capres-cawapres Seharusnya Diatur DPR

Mahkamah Konstitusi disarankan konsisten soal kebijakan hukum terbuka.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JaMAK) bertajuk Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Ahad (7/5).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JaMAK) bertajuk Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Ahad (7/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai urusan batas usia minimum calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang kewenangannya berada pada pembentuk undang-undang, yakni DPR. Bivitri selaku ahli dari pihak terkait Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan hal itu dalam sidang lanjutan perkara nomor 29, 51, dan 55 Tahun 2023 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Perkara ini terkait pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). "Syarat usia calon adalah syarat bagi elected official. Apakah ini menunjukkan kebijakan hukum terbuka yang diatur oleh pembentuk undang-undang? Jawaban saya adalah iya, karena itu biasanya argumennya memang argumen kebijakan yang perkembangannya cepat, karena sains juga bergerak cepat," ujar Bivitri di Gedung Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dipantau secara daring dari Jakarta, Selasa (29/8/2023).

Baca Juga

Kebijakan hukum terbuka merupakan kewenangan pembentuk undang-undang apabila konstitusi sebagai norma hukum tertinggi tidak memberikan batasan yang jelas. Yakni, bagaimana seharusnya materi dalam undang-undang diatur.

Ia juga menyinggung bahwa batas usia minimum bagi jabatan publik atau jabatan politik berbeda dengan presiden. Dimana anggota legislatif berusia 21 tahun, bupati dan wali kota 25 tahun dan gubernur 30 tahun. Namun, syarat usia bagi presiden justru 40 tahun.

Menurutnya, ihwal presiden berbeda, karena konteksnya berada di jantung negara hukum terkait pembatasan kekuasaan. Untuk itu, capres dan cawapres berbeda dengan jabatan lainnya yang hanya boleh dua periode menjabat. "Mahkamah sendiri sudah sering konfirmasi hal ini, karena itulah dalam hal usia itu akhirnya lari ke dalam pembentukan undang-undang," tegasnya.

Bivitri mengungkapkan bahwa banyak harapan yang terlalu tinggi diberikan kepada MK. Adapun MK acap kali diminta untuk memutuskan segala sesuatu. Padahal, sambung dia, dalam teori klasik montesquieu atau paling dikenal dengan ajaran trias politika di mana pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif atau kehakiman (pengawas pelaksanaan undang-undang).

Apabila merujuk pada teori itu, maka tidak semua hal harus dipecahkan atau diberikan solusi oleh yudikatif. "Itu yang saya kira membuat banyak orang memberikan segala macam perkara kepada mahkamah. Bahkan, termasuk hal-hal yang sebenarnya sudah cukup jelas wilayahnya di mana," tegas Bivitri.

Selain itu, Bivitri Susanti mengatakan batasan usia sebagai syarat capres dan cawapres bukanlah isu yang konstitusional. Sehingga Mahkamah Konstitusi harus konsisten dengan kebijakan hukum terbuka.

“Batasan umur sebagai syarat capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional, sehingga MK harus konsisten dengan keputusan-keputusannya selama ini mengenai kebijakan hukum terbuka," tambahnya.

Dia menilai jika MK turut dalam hal memberikan putusan, fleksibilitas yang mengikuti kontekstualisasi akan hilang karena nanti batas usia menjadi isu konstitusional. "Inkonsistensi ini sudah terlihat dalam permohonan a quo yang jika diadopsi mahkamah menurut saya akan membuka inkonsistensi putusan mahkamah," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement