Ahad 27 Aug 2023 22:34 WIB

Pakar Nilai Perubahan Syarat Usia Calon Hakim Kerap Lahir dari Kepentingan Politik

Syarat terkait usia calon hakim MK pun kerap mengalami perubahan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim konstitusi bersiap memimpin jalannya sidang. (ilustrasi)
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim konstitusi bersiap memimpin jalannya sidang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, menyoroti soal perubahan usia calon hakim yang menurut dia kerap kali lahir dari kepentingan politik. Di dalam perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, misalnya, bagaimana ketika itu usia hakim agung dinaikkan dari 67 tahun kemudian diubah menjadi 70 tahun.

"Kala itu, kalau Anda riset dengan detail, itu kan hanya ingin menyelamatkan beberapa orang hakim agung saja. Diperpanjang, jadi perubahan kebijakan itu alamatnya adalah untuk melakukan perlindungan orang tertentu," kata Zainal dalam Dialog Konstitusi yang digelar Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang ditayangkan secara daring.

Baca Juga

Menurut dia, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) di usianya yang ke-20 tahun juga tengah mengalami itu. Syarat terkait usia calon hakim MK pun kerap mengalami perubahan.

"Berangkat dari 40, naik ke 47, naik ke 55, sebentar lagi naik ke 60 karena sekarang RUU-nya mau didorong ke sana tuh. Wallahualam, ya. Tapi, kalau Anda lihat RUU yang beredar, itu mau didorong lagi naik menjadi 60," ucapnya. 

Zainal menilai perubahan usia tersebut dinilai tidak memiliki ratio legis atau pemikiran hukum yang jelas. Ia pun mempertanyakan dasar hukum perubahan usia itu dilakukan.

"Biasanya lahir dari kepentingan politik yang kemudian mau ditaruh di MK menggeser-geser hakim karena ada yang mau didepak dari situ atau kemudian ada yang mau dimasukkan ke situ, begitu biasanya," ungkapnya. 

Ia pun mengkritik MK yang dinilai tidak memiliki kuasa kuat karena MK tidak pernah membangun barrier yang jelas. Kritik tersebut, menurut dia, juga tidak bisa dialamatkan kepada MK sepenuhnya karena MK bukan menjadi penentu bagi nasibnya sendiri.

"Di MK itu enggak bisa karena MK tidak kuasa mengubah nasibnya sendiri karena memang nasibnya itu berada di pemerintah dan DPR," katanya. 

Kemudian, pengamat hukum tata negara yang juga mantan hakim MK I Dewa Gede Palguna juga menilai soal rekrutmen hakim konstitusi perlu menjadi perhatian para pembuat undang-undang. Menurut dia, calon hakim harus didasarkan pada standar yang sama. 

"Standar harus sama bertolak dari mana, ya, dari pasal 24 C ayat 5 UUD itu. Dari situlah kemudian breakdown dari pasal 20 ayat 1, ayat 2 dan, ayat 3 di Undang-Undang MK," kata Palguna. 

Namun, ia menyayangkan adanya perubahan yang menyasar pada usia calon hakim. Ia pun mengaku jengah dengan pembuat undang-undang yang kerap kali mengubah hal yang dianggap tidak substantif.

"Beberapa kali Undang-Undang MK yang diubah kok cuma soal umur gitu lho. Ini yang menyebabkan beberapa kali dan saya agak, bagaimana, ya? Apa bahasanya, ya? Jengah gitu, ya, pada pembentuk undang-undang, khususnya kok tidak ada hal yang substantif yang diubah," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement