REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Praktisi Hukum Agus Widjajanto menyatakan bahwa untuk bisa memahami dan mengetahui sistem Ketatanegaraan sebuah Bangsa, maka harus mempelajari sejarah dan latar belakang terbentuknya Negara. Baik dari perspektif kultur budaya dan sosial politik yang berurat berakar dari Bangsa tersebut secara sosiologis. Demikian halnya Indonesia.
Hal yang harus dipahami oleh generasi muda, dengan menelisik ke belakang sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, saat itu founding father bangsa ini memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan perubahan Geo Politik kawasan dan Dunia.
"Setelah Pemerintahan Jepang menyerah pada Sekutu Amerika Serikat, pimpinan Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara telah membentuk BPUPKI pada 1 Maret 1945," terang Agus, Senin (28/8/2023).
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Docuritsu Junbi Cosakai kemudian diresmikan penguasa Jepang di Hindia Belanda pada 29 April 1945. Tugas BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting menyangkut politik, tata pemerintahan, ekonomi dan lainya yang diperlukan untuk persiapan Kemerdekaan Hindia Belanda jadi sebuah Negara.
BPUPKI tercatat melaksanakan sidang dua kali. Pertama pada 29 Mei hingga 1 Juni dengan menghasilkan rumusan Dasar Negara yang berupa pandangan Umum. Dimana falsafah Negara diusulkan oleh Moh Yamin pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945 dan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Agus menuturkan, dalam pidato falsafah Negara itu Soekarno menjabarkan nilai-nilai luhur dari Bangsa ini sejak ratusan tahun yang merupakan Bangsa yang berbudaya. Soekarno merujuknya dari Kitab Negara Kertagama dan Sutasoma serta ajaran leluhur yang tidak tertulis dari budaya bangsa yang di kenal dengan Sila-Sila Pancasila.
"Nilai-nilai luhur bangsa ini dikemudian hari, setelah kemerdekaan, dibuat sebagai Dasar Negara yaitu Pancasila," ujarnya.
Kedua, BPUPKI menggelar sidang pada 10 - 17 Juli 1945 dengan membahas tentang Rancangan Undang Undang Dasar (UUD) termasuk pembukaannya yang memuat Dasar Negara dan arah politik Indonesia. Dalam membentuk rancangan UUD tersebut dibentuk panitia perancang UUD yang diketuai oleh Soekarno.
"Belajar dari sejarah, saya selalu katakan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD sebagai Hukum Dasar dan kontitusi tertulis adalah satu di mana keduanya tidak bisa dipisahkan dan merupakan hubungan integral saling terkait dan saling mengisi, seperti suami istri dalam rumah tangga," katanya.
Disebutkan Agus, dari awal desain besar Negara ini didesain dan diilhami dari Pemerintahan Desa Adat atau desa-desa pada jaman itu bersifat otonom. Desa yang mempunyai perangkat pemerintahan dalam menentukan pemimpinnya berdasarkan keputusan bersama melalui Rembug Desa atau musyawarah tokoh-tokoh perwakilan desa.
Desain besar kemudian dijabarkan dalam UUD yang disyahkan pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Lembaga Tinggi Negara ini adalah pengejawantahan dari suara rakyat seluruh Negara yang dalam paham demokrasi disebut sebagai Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).
Keberadaan MPR RI, tambah Agus Widjajanto, oleh para Pendiri Bangsa dalam UUD 1945 ditempatkan paling terhormat sebagaimana Pasal 1 ayat 2 bahwa 'Kedaulatan adalah di tangan takyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR '. Pasal 1 ayat 2 tersebut sejalan dan selaras dengan Sila ke 4 dari Pancasila sebagai Dasar Negara bahwa 'Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat, kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'.