REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Siswa Jakarta Intercultural School (JIS), Jefferson Sunjoto, berhasil mengembangkan perangkat lunak yang memadukan tenaga angin dan tenaga surya untuk menggerakkan perahu berlayar tanpa menggunakan solar. Jika dikembangkan lebih lanjut, teknologi tersebut tidak hanya mengurangi pencemaran udara, tapi juga menyejahterakan para nelayan karena bisa melepas ketergantungan pada ketersediaan bahan bakar solar yang harganya terus naik.
"Teknologinya memang mahal di awal, tetapi banyak penghematan di akhir karena perahu bisa bergerak tanpa bahan bakar solar. Keuntungan lain, tak ada polusi," kata Jeff dalam siaran pers, Kamis (24/8/2023)
Hal itu dia sampaikan seusai melakukan presentasi hasil penelitiannya dalam acara Jakarta Scholar Symposium (JSS) yang digelar di Soehana Hall, Energy Building, Jakarta, Rabu (23/8/2023). Jefferson merupakan salah satu dari 10 siswa yang berpartisipasi dalam JSS Volume II yang bertema 'Computing for the Future'. Para siswa itu berasal dari sekolah internasional JIS dan British School Jakarta (BSJ).
Dalam kesempatan itu, peserta JJS memaparkan masing-masing gagasannya, bagaimana teknologi komputer dapat mengatasi masalah yang terjadi dalam di masyarakat. Gagasan tersebut bisa dikembangkan lebih lanjut untuk kemaslahatan bersama. Siswa kelas XII itu menuturkan, ide penelitian berawal dari sebuah artikel tentang kapal cargo yang bergerak dengan tenaga angin, teknologi yang akan menjadi tren pada masa depan.
"Lalu saya terpikir untuk membuat teknologi yang tidak saja menggunakan tenaga angin, tetapi juga memanfaatkan sinar matahari melalui solar system sebagai 'backup' jika laut tiba-tiba hujan sehingga tidak ada angin," ujar dia.
Seluruh perangkat yang dibuat Jeff tidak digunakan secara manual untuk menggerakkannya, tetapi memanfaatkan teknologi komputer. Setiap data dimasukkan ke komputer, sehingga perahu bisa bergerak secara otomatis. Dia membandingkan keuntungan jika menggunakan energi angin dibanding energi solar. Pertama, nol polusi karena tidak pakai bahan bakar solar. Kedua, hemat biaya karena tidak perlu beli solar.
"Program perputaran layar dibuat untuk selalu memaksimalkan energi dan kekuatan. Kecepatan kapal bervariasi, bisa mencapai 20-25 knots atau 23-29 mph tergantung arah angin," kata dia.
Sedangkan kapal dengan penggunaan solar, lanjut Jeff, menghasilkan 130 ton karbondioksida (Co2). Jumlah itu 26 kali lebih tinggi dari karbondioksida yang dihasilkan sebuah mobil. "Uang yang dikeluarkan untuk membeli solar diperkirakan lebih dari USD 4 ribu setahun. Sementara kecepatan kapal hanya 9-30 knot atau 10-35 Mph," tutur dia.
Melihat keunggulan dari kapal bertenaga angin dan surya itu, Jeff bersemangat untuk mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya dalam bentuk nyata. Ia akan mencoba pada perahu nelayan dengan ukuran 5 x 6 meter. Termasuk pemasangan solar panel dari bahan tahan air laut yang mampu menyimpan energi dalam dua baterai dengan daya 2,2 kwh yang bertahan hingga lima jam. Daya baterai bisa ditingkatkan sesuai kebutuhan.
"Baterai hanya dipakai untuk keadaan darurat saja. Karena energi sepenuhnya memanfaatkan tenaga angin," tutur anak sulung dari tiga bersaudara itu.
Dalam penelitiannya, Jeff dibantu guru-guru saat mengukur kekuatan angin dan pembuatan panel solar. Selain juga didukung oleh keluarga, karena eksperimen yang dibuatnya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
"Saya ingin berkolaborasi dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian untuk mengembangkan teknologi ini menjadi lebih sempurna. Sehingga bisa dimanfaatkan nelayan kita agar lebih sejahtera," ucap Jeff.