REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza, menilai obsesi Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko merebut Partai Demokrat telah berakhir seusai Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan panglima TNI itu. Sebab, sudah tidak ada lagi jalur hukum yang bisa ditempuh karena PK sebagai upaya hukum terakhir hanya bisa diajukan satu kali.
"MA sudah menyatakan putusan menolak Peninjauan Kembali Kubu Moeldoko atas kepengurusan Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). PK tidak dimungkinkan diajukan dua kali," kata Efriza ketika dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, Kamis (10/8/2023).
"Artinya kegagalan (gugatan hukum) ini menunjukkan berakhirnya obsesi tinggi dari Moeldoko untuk merebut Partai Demokrat," kata dosen ilmu pemerintahan di Universitas Sutomo, Serang, Banten, itu.
MA menolak PK Moeldoko terkait perebutan kepengurusan Partai Demokrat pada hari ini, Kamis (10/8/2023). Putusan itu makin menguatkan bahwa kepengurusan partai Demokrat yang resmi ialah yang diketuai oleh AHY.
Menurut Efriza, ditolaknya PK tersebut seharusnya membuat Moeldoko jera untuk merebut Partai Demokrat. Moeldoko sudah sepatutnya mengakui kepimpinan AHY yang sah.
"Jika Moeldoko mencoba untuk mengganggu Partai Demokrat lagi, sudah selayaknya Jokowi me-reshuffle Moeldoko sebagai kepala staf kepresidenan," ujarnya.
Di sisi lain, kata Efriza, putusan PK tersebut akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi kepada AHY dan jajaran pengurus Partai Demokrat. AHY akan dianggap memiliki kepemimpinan tegas karena berhasil menjaga soliditas internal partai di tengah gempuran upaya hukum Moeldoko merebut partai yang didirikan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu.
AHY dan Partai Demokrat, kata dia, kemungkinan juga akan mendapat respons positif dari masyarakat karena berhasil mengalahkan upaya hukum yang diajukan Moeldoko sebanyak belasan kali. "Respons positif ini diyakini turut menguatkan elektabilitas Partai Demokrat, karena simpatik publik," kata Efriza.
Lebih lanjut, Efriza menyebut putusan ini akan membuat Partai Demokrat leluasa memanaskan mesin partai untuk menghadapi Pemilu 2024, terutama pemilihan presiden. AHY dan jajarannya bisa fokus menghadapi pesta demokrasi tanpa lagi disibukkan oleh upaya Moeldoko merebut Demokrat.
Sebagai catatan, upaya Moeldoko merebut Partai Demokrat ini bermula dari terselenggaranya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatra Utara, pada Maret 2021. KLB itu dimotori oleh beberapa kader Partai Demokrat yang sudah dipecat. Dalam KLB itu, Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres Jakarta 2020 menyatakan KLB itu ilegal. Sebab, pelaksanaan KLB itu tak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat. Khususnya pasal yang mengatur bahwa KLB hanya bisa digelar atas seizin Ketua Majelis Tinggi, yakni SBY.
Kendati begitu, kubu KLB tetap berupaya mengesahkan kepemimpinan Moeldoko dengan mendaftar ke Kemenkumham. Namun, Menkumham Yasonna Laoly lewat surat resminya menolak pendaftaran tersebut.
Kubu Moeldoko lantas mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 25 Juni 2021. Mereka meminta PTUN membatalkan surat Menkumham tersebut. Mereka juga meminta PTUN memerintahkan Menkumham mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat pimpinan Moeldoko.
PTUN ternyata menolak gugatan tersebut. Dalam tahap banding, PTTUN juga menolak. Kubu Moeldoko lantas mengajukan kasasi ke MA, tapi juga ditolak. Moeldoko lantas mengajukan PK ke MA, tapi juga ditolak hari ini.