Ahad 30 Jul 2023 15:16 WIB

Komisi III Minta Jokowi Jadi Penengah TNI-KPK di Kasus Kepala Basarnas

Komisi III DPR meminta Presiden Jokowi menjadi penengah TNI-KPK di kasus Kabasarnas.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi menjadi tersangka kasus suap OTT KPK. Komisi III DPR meminta Presiden Jokowi menjadi penengah TNI-KPK di kasus Kabasarnas.
Foto: Dok Basarnas
Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi menjadi tersangka kasus suap OTT KPK. Komisi III DPR meminta Presiden Jokowi menjadi penengah TNI-KPK di kasus Kabasarnas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni buka suara terhadap polemik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP). Dalam kasus tersebut, KPK menetapkan Kabasarnas Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC) sebagai tersangka.

Sahroni sendiri menjelaskan, hingga saat ini belum ada aturan atau undang-undang yang mengatur penanganan kasus korupsi oleh KPK atau kejaksaan terhadap anggota TNI. Karenanya, ia ingin polemik tersebut ditengahi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang merupakan pemimpin tertinggi dua lembaga tersebut.

Baca Juga

"Saya pikir untuk menengahi kesalahpahaman ini, Presiden sebagai panglima tertinggi TNI dan atasan langsung KPK, bisa mengajak kedua belah pihak pimpinan untuk berdiskusi menyelesaikan permasalahan dari atas. Sehingga di bawah juga bisa kondusif," ujar Sahroni lewat keterangannya, Ahad (30/7/2023).

Ia memahami jika TNI memiliki ketentuannya sendiri dalam memproses hukum anggotanya. Terutama dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang mengatur penanganan kasus dan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI aktif.

Kendati demikian, ia yakin bahwa TNI memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi. TNI juga diyakininya tak berusaha menghalangi pemberantasan korupsi yang saat ini tengah dilakukan KPK.

"Panglima pun kemarin secara resmi juga meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan Kabasarnas. Namun memang TNI memiliki sendiri sistem penegakan hukum sendiri untuk anggota aktifnya, dan ini harus dihormati dan diikuti semua pihak," ujar Sahroni.

Dua prajurit aktif TNI baru saja ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh KPK terkait pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro memastikan tidak ada prajurit kebal hukum.

Walaupun demikian, kata Kababinkum TNI, penanganan kasus dan penindakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI aktif harus dilakukan oleh perangkat hukum militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Oleh karena itu, lanjut dia, untuk setiap tindak pidana yang dilakukan oleh militer, prajurit aktif itu tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Selain itu, juga tunduk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

"Jadi, pada intinya tidak ada prajurit TNI yang kebal hukum, semua tunduk pada aturan hukum," ujar Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro, Jumat (28/7/2023).

Terkait dengan penanganan korupsi, dia menjelaskan bahwa ada batas kewenangan yang jelas, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses warga sipil, sementara anggota TNI aktif diperiksa oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.

Puspom, dalam penanganan kasus itu, bertindak sebagai penyidik, kemudian berkasnya jika lengkap dilimpahkan ke Oditur Militer yang berfungsi sebagaimana jaksa dalam sistem peradilan umum.

"Selanjutnya, melalui persidangan, dan Anda tahu semua, di peradilan militer itu, itu sudah langsung di bawah teknis yudisialnya Mahkamah Agung. Jadi, tidak ada yang bisa lepas dari itu," ujar Kresno Buntoro.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement