Jumat 07 Jul 2023 19:44 WIB

Pengamat: UKT Mahal Bentuk Implementasi PTN BH yang Salah dan Minim Pengawasan

Pengamat sebut UKT mahal bentuk implementasi PTN BH yang salah dan minim pengawasan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Lulusan Perguruan Tinggi (ilustrasi). Pengamat sebut UKT mahal bentuk implementasi PTN BH yang salah dan minim pengawasan.
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Lulusan Perguruan Tinggi (ilustrasi). Pengamat sebut UKT mahal bentuk implementasi PTN BH yang salah dan minim pengawasan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, menyebut otonomi dari status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH) jangan ditafsirkan dengan dapat menggali uang dari mahasiswa. PTN BH seharusnya dapat menjadi contoh baik bagi perguruan tinggi lain dalam hal memanfaatkan otonomi yang mereka miliki untuk mengelola modal intelektual menjadi sumber ekonomi.

“Idealnya PTN BH itu menjadi best practice bagi sebuah perguruan tinggi yang punya otonomi lebih. Kan ada dua otonomi di perguruan tinggi, otonomi akademik dan non akademik. Untuk otonomi non akademik, khususnya keuangan, itu PTN BH jangan ditafsirkan menjadi oto-money, menggali uang sendiri dari mahasiswa,” ujar Cecep kepada Republika, Jumat (7/7/2023).

Baca Juga

Menurut dia, alasan biaya kuliah yang mahal karena perguruan tinggi kekurangan anggaran dan sebagainya tidak tepat. Sebab, itu menjadi tanggung jawab pemerintah dan perguruan tinggi itu sendiri. Jangan kemudian tanggung jawab itu dibebankan kepada para mahasiswa dan orang tuanya.

Karena itu, dia menilai penting bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan modal intelektual yang mereka miliki. PTN BH, kata dia seharusnya lebih mengedepankan memanfaatkan modal intelektual mereka dalam upaya mencari uang.

Modal intelektual yang dia maksud seperti produk-produk riset, inovasi, hak copta, hak paten, dan lain sebagainya itu semestinya dapat dijual kepada industri dan masyarakat. Bisa pula modal intelektual itu menjadi bahan untuk kerja dama dengan institusi di luar kampus baik di dalam mapun luar negeri.

"Harus punya modal intelektual. Dia harus bisa menjual produk-produk riset, inovasi-inovasi, hak-hak cipta, hak paten, dan lain-lain ke industri, ke masyarat, bahkan kolaboratif dengan perguruan tinggi di luar negeri. Pokoknya punya income generate yang dari luar karena modal intelektual,” jelas dia.

Cecep mengatakan, beberapa perguruan tinggi sudah mencoba memanfaatkan modal intelektualnya. Akan tetapi, kebanyakan persentasenya masih relatif kecil jika dibandingkan dengan dana yang mereka dapatkan dari iuran kuliah dari mahasiswa.

“Belum begitu besar dari sisi persentasenya. masih relatif kecill dibanding dengan biaya dari mahasiswa,” kata Cecep.

Di samping itu, Cecep melihat, status PTN BH tidak serta merta membuat biaya kuliah di perguruan tinggi menjadi mahal. Tapi, dia mengakui, saat ini memang ada kecenderungan biaya kuliah di PTN BH semakin mahal dari sebelumnya. Melihat itu, dia meminta agar pemerintah untuk mengingatkan para PTN BH terkait tujuan kebijakan itu dibentuk dan harus membuat uang kuliah menjadi lebih murah.

“Justru harusnya di PTN BH orang kuliahnya murah. Dibalik. Kenapa? Karena perguruan tingginya bisa lebih berkreasi. Kalau PTN BH hanya mengeruk uangnya dari masyarakat, untuk apa jadi PTN BH?” jelas Cecep.

Dia menilai kondisi biaya kuliah yang cenderung mengalami kenaikan karena ada pengimplementasian kebijakan PTN BH yang salah. Cecep menekankan, PTN BH seharusnya lebih menitikberatkan pencarian keuntungan dari luar uang kuliah tunggal (UKT).

Bukan sebaliknya, yang justru semakin menaikkan biaya UKT dan menyebabkan mahasiswa dan orang tuanya kesulitan untuk menempun pendidikan di perguruan tinggi.

“Implementasinya dan juga pengawasan dari pemerintah (kurang baik). Kemendikbudrsitek agar mencermati betul kebijakan UKT-UKT di berbagai PTN BH,” tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement