Jumat 07 Jun 2024 10:46 WIB

Nadiem Diminta tak Abaikan Hasil Raker Soal UKT, Komisi X Desak Cabut Permendikbud 2/2024

Sejumlah PTN pun kembali menjadikan aturan ini sebagai dasar penyusunan besaran UKT.

Sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berunjuk rasa terkait UKT, di depan kampus UNY, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (3/7/2020).
Foto: ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berunjuk rasa terkait UKT, di depan kampus UNY, Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (3/7/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tak kunjung mencabut Peraturan Mendikbudristek (Permendikbud) Nomor 2/2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSOBPT). Sejumlah pengelola Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pun kembali menjadikan aturan ini sebagai dasar penyusunan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) baru.

“Permendikbud 2/2024 tentang SSOBPT merupakan salah satu akar masalah lonjakan besaran UKT di PTN secara drastis. Kami mendesak Mas Menteri untuk segera mencabut Permendikbud 2/2024 agar kenaikan UKT kalaupun ada tetap proporsional. Ini sesuai dengan rekomendasi dari Komisi X yang disampaikan dalam Raker bersama Kemendikbud akhir bulan lalu,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Jumat, (7/6/2024).

Baca Juga

Untuk diketahui, sejumlah PTN ramai-ramai melakukan revisi terhadap keputusan rektor untuk menaikkan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) untuk mahasiswa baru angkatan 2024/2025 setelah ada keputusan pembatalan UKT dari Kemendikbudristek. Kendati demikian, pengelola PTN tetap menjadikan Permendikbud Nomor 2/2024 sebagai acuan penyusunan UKT baru. Seperti yang dilakukan oleh Universitas Sumatera Utara dan beberapa kampus negeri lainnya. Langkah ini mendapat protes mahasiswa. Bahkan empat mahasiswa UGM secara resmi mengajukan uji materi terhadap Permendikbud 2/2024 ke Mahkamah Agung (MA).

Huda mengatakan, Permendikbud 2/2024 rawan diintreprestasikan oleh pengelola PTN untuk menaikkan UKT maupun IPI secara ugal-ugalan. Dalam aturan tersebut misalnya PTN diberikan kewenangan untuk menetapkan UKT dan IPI setelah mahasiswa resmi diterima.

 

“PTN juga diberikan otoritas menetapkan UKT sesuai Biaya Kuliah Tunggal yang dipengaruhi komponen indeks kemahalan wilayah, kualitas kampus, akreditasi, kualitas dosen, hingga dukungan saran prasarana yang bisa didefinisikan secara sepihak oleh pihak kampus,” katanya.

Di sisi lain, kata Huda, mekanisme kontrol yang dilakukan oleh Kemendikbudristek terhadap besaran UKT ini relatif lemah. Salah satu buktinya adalah kenaikan hingga lebih dari 100 persen besaran UKT mahasiswa baru angkatan 2024/2025 di berbagai PTN sebelum resmi dibatalkan.

“Padahal dalam aturan jelas kenaikan UKT untuk PTN Berbadan Hukum harus sepengetahuan Kemendikbud Ristek dan untuk PTN BLU harus mendapatkan persetujuan Kemendikbudristek, namun buktinya fungsi kontrol tidak berjalan maksimal sehingga ada lonjakan UKT maupun IPI yang diprotes mahasiswa dan publik secara luas,” katanya.

Politisi PKB tersebut menegaskan, harus ada kenaikan subsidi pengelolaan PTN agar tidak ada kenaikan UKT secara drastis. Hal itu bisa dilakukan jika ada penajaman terhadap pengelolaan dan distribusi mandatory spending anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.

“Kenaikan UKT maupun IPI di PTN sebenarnya boleh saja dilakukan. Tetapi harus dilakukan secara proporsional agar tidak memberatkan peserta didik. Selain itu memang harus ada peningkatan subsidi untuk pengelolaan pendidikan tinggi dari anggaran pendidikan 20 persen APBN,” ujar Huda.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement