Jumat 16 Jun 2023 11:20 WIB

Respons KPU dan DPR Atas Peringatan MK Soal Politik Uang di Sistem Proporsional Terbuka 

MK kemarin telah memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.

Rep: Febryan A/ Red: Andri Saubani
Bilik dan kotak suara pemilu. MK telah memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (ilustrasi)
Foto: VOA
Bilik dan kotak suara pemilu. MK telah memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons peringatan yang disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) soal maraknya praktik politik uang atau jaul-beli suara pemilih dalam pemilihan legislatif dengan sistem proporsional daftar calon terbuka. MK diketahui telah memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem tersebut. 

Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengatakan, sebenarnya dalam UU Pemilu sudah ada ketentuan dan lembaga yang ditugaskan untuk mencegah maupun menindak calon anggota legislatif (caleg) yang melakukan praktik politik uang. 

Baca Juga

"Saya kira norma di peraturan perundangan-undangan sudah tidak kurang-kurang memberikan warning dan perhatian bahwa tindakan-tindakan tertentu dilarang supaya tidak terjadi manipulasi atau penggunaan instrumen uang sehingga persaingan menjadi tidak fair," kata Hasyim di kantornya, Jakarta, dikutip Jumat (16/6/2023). 

UU Pemilu, kata dia, menugaskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencegah dan menindak politik uang. Beleid yang sama memuat ketentuan sanksi bagi kandidat yang terbukti melakukan politik uang. 

Pasal 285 UU Pemilu, misalnya, menyatakan bahwa calon yang terbukti melakukan politik uang akan dijatuhi sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai kandidat. "Setelah pemungutan suara ternyata calon terpilih diputuskan terbukti melakukan politik uang, juga akan dibatalkan sebagai calon terpilih," kata Hasyim.

Selain dari sisi normatif, lanjut Hasyim, persoalan politik uang ini juga harus dilihat dari aspek kultur masyarakat. Menurut dia, perkara jual-beli suara pemilih ini tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab calon yang memberi saja. Masyarakat yang mendapat tawaran uang juga harus punya kesadaran untuk menolak. 

Jangan pula masyarakat menawarkan suaranya kepada kandidat demi mendulang uang. "Jadi, relasi ini tidak hanya sepihak, tetapi harus timbal balik antara calon dengan pemilih supaya sama-sama terhindar dari praktik-praktik politik uang," kata Hasyim. 

Lebih lanjut, Hasyim menegaskan bahwa kebijakan lembaganya menghapus  ketentuan yang mewajibkan peserta pemilu menyampaikan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), tidak akan mengurangi transparansi dana kampanye para kandidat. Untuk diketahui, sejumlah pihak khawatir penghapus LPSDK akan membuat kandidat menerima sumbangan melampaui batas dan digunakan untuk membeli suara pemilih. 

Hasyim menjelaskan, transparansi pendanaan kampanye para peserta pemilu masih bisa diwujudkan dengan keberadaan ketentuan rekening khusus dana kampanye, Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). 

Selain itu, pihaknya juga membuat inovasi baru bernama Sistem Informasi Dan Kampanye (Sidakam). Lewat kanal tersebut, para peserta pemilu bisa menyampaikan sumbangan dana kampanye yang mereka terima secara harian. 

"Kalau ada sumbangan dana kampanye hari ini misalkan, akan kita update (di Sidakam) dan akan kita publikasikan sehingga siapa pun warga negara, termasuk teman-teman jurnalis bisa mengakses Sidakam tersebut," ujar Hasyim. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement