REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengaku heran dengan mengaku heran dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Ia pun menyindir, MK yang aspiratif mungkin juga bisa saja memperpanjang masa jabatan DPR.
"Karena MK sangat inspiratif, maka kita mencoba juga perpanjangan DPR lima tahun lagi ke depan, rasanya boleh dipertimbangkan," ujar Sahroni saat dihubungi wartawan, Kamis (25/5/2023),
DPR lewat Komisi III yang menyusun dan membuat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum adanya putusan MK tersebut, dalam Pasal 34 UU KPK dijelaskan bahwa pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
"Kita mau panggil MK terkait ini agar publik tidak bertanya-tanya hal keputusan dari MK. Saya akan minta kepada pimpinan yang lain untuk memanggil MK. Karena kami kalau memanggil mitra kerja Komisi III harus kolektif kolegial," ujar Sahroni.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman juga mengkritik putusan MK tersebut. Ia mempertanyakan kewenangan MK yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun.
"Apa betul MK mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun ke lima tahun? dari mana sumber kewenangan MK mengubah periode masa jabatan pimpinan KPK ini. Itu kewenangan mutlak pembentuk UU, tertib konstitusi menjadi rusak akibat MK ikut bermain politik, hancur negeri ini," ujar Benny.
Diketahui, MK memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Dengan putusan ini, jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun.
Hakim MK M Guntur Hamzah setuju masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan pimpinan 12 lembaga non-kementerian atau auxiliary state body di Indonesia seperti Komnas HAM, KY, KPU yaitu lima tahun.
MK berpendapat pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran wajar dan bersifat diskriminatif.
Kondisi itulah yang diyakini MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. "Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance yakni lima tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan," ujar Guntur yang pernah terjerat skandal pengubahan putusan MK.